Merasa Dikriminalkan, Mantan Wakil Wali Kota Tarakan Layangkan Surat Keluhan ke Presiden RI

benuanta.co.id, TARAKAN – Setelah dinyatakan kembali menjalani hukuman pada tingkat Kasasi, Khaeruddin Arief Hidayat meminta keadilan dengan melayangkan surat pengaduan ke Presiden Republik Indonesia.

Diketahui, Mantan Wakil Wali Kota Tarakan yang diduga terseret kasus mark up lahan mengadukan keresahannya pada surat tertanggal 4 Februari 2023.

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
2019 votes

Dalam suratnya, ia meminta kepada Presiden agar memeriksa polisi, hakim dan jaksa atas tuduhan kerugian negara sebesar Rp567.620.000. Atas tuduhan ini, ia merasa dikriminalkan selama 2014 hingga 2022 dengan penjatuhan vonis 3 tahun 6 bulan penjara.

“Ada banyak hal yang janggal pada perkara tersebut sehingga menimbulkan pertanyaan besar,” ucapnya.

Baca Juga :  Terdakwa Tipikor Pembangunan Rumah Kuliner Kotaku Dituntut Pidana 2,6 Tahun

Tak hanya kepada Presiden, Arief yang masih menjadi anggota aktif DPRD Kaltara juga menembuskan suratnya ke KPK, Menteri Kemenkumham, Kompolnas RI, Kapolri, Kabid Propam RI, Jaksa Agung Pengawasan, Komisi Pengawas Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung hingga ke DPP PAN.

Ia menguraikan saat itu dirinya menjabat sebagai Wakil Walikota dan juga pengurus di yayasan yang tanahnya di bebaskan oleh pemerintah untuk perluasan kantor kelurahan.

Ia juga menilai pembebasan lahan sudah dihitung oleh Jasa Penilai Aset atau Jasa Appraisal. Jasa ini merupakan profesi yang berkegiatan dalam melakukan penilaian secara profesional.

Selain itu, Arief menyebutkan sifat wajib ini juga di atur di dalam Kode Etik Penilai Indonesia (KEPI). Salah satu isi aturan yang bahwa perbedaan harga sampai dengan 30 persen masih dalam tahap kewajaran.

Baca Juga :  Cemburu Buta, KM Nekat Tikam Teman Sendiri  

“Hal ini pun di sampaikan oleh ahli appraisal dalam keterangannya di persidangan,” sebutnya.

Ia melanjutkan terdapat perbedaan waktu dalam penghitungan objek. Ahli appraisal pemerintah kota menghitung objek pada tahun 2015, sedangkan ahli appraisal polisi menghitung objek pada tahun 2017. Menurutnya perbedaan waktu dua tahun tersebut secara pasti menghasilkan suatu nilai dan taksiran harga yang berbeda.

“Sehingga menurut appraisal polisi bahwa ada selisih nilai objek tersebut dengan harga Rp567.620.000,- lebih yang inilah dianggap oleh polisi sebagai markup,” tegasnya.

Sehingga ia menilai, hal ini adalah diduga perhitungan appraisal polisi adalah titipan dari polisi agar terjadi selisih harga, agar seolah terjadi temuan selisih harga.

Sistem metode penilaian antara appraisal polisi dan appraisal pemkot adalah tidak sama. Sehingga hasilnya berbeda dan digunakan untuk dalil terjadi markup.

Baca Juga :  Pemilik Tagih Janji Setelah Tanah Dijadikan Jalan Pemakaman Covid-19

“Padahal hitungan selisih harga tersebut masih di bawah 30 persen sehingga second opinion dengan hanya satu pembanding adalah tidak adil dan syarat dengan kezaliman,” katanya.

Sebagai informasi, Arief diputus bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Samarinda dengan vonis 3 tahun 6 bulan penjara. Namun, di tingkat banding diputus tidak bersalah sehingga dibebaskan dari semua tuduhan dan Arief resmi keluar dari Lapas Tarakan. Selanjutnya di tingkat Kasasi yang diajukan Jaksa, putusannya konform dengan Pengadilan Tipikor.

“Analogi terdapat 10 hakim dan jaksa dengan perkara yang sama, maka bisa membuat tuntutan dan keputusan hukuman yang tidak sama,” pungkasnya. (*)

Reporter: Endah Agustina

Editor: Yogi Wibawa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *