benuanta.co.id, TANJUNG SELOR – Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) memperlihatkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak masih tinggi.
Kondisi itu membuat para penggiat komunitas perempuan buka suara untuk melakukan upaya pencegahan, baik kepada anak yang menjalani pernikahan anak di bawah umur maupun kekerasan fisik.
Salah satunya dari penggiat Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Katharina Megawati yang juga sebagai masyarakat Dayak Belusu, tak menampik pernikahan anak masih sering terjadi.
“Ini dilema antara larangan dan tradisi cukup sulit untuk dicegah. Apalagi, tradisi yang berujung pada sanksi adat dan lain sebagainya,” ucap Katharina Megawati kepada benuanta.co.id, Ahad 4 Desember 2022.
Pihaknya pun telah melakukan semampuanya untuk melakukan pendataan di tempat tinggalnya, ditemukan masih banyak anak usia dini yang menjalani pernikahan.
“Cukup miris anak-anak sudah punya anak, kadang anaknya tidak terurus kan kasihan. Perempuuan itu harus punya mimpi,” terangnya.
Selain itu, Gina perwakilan dari Forum Anak Daerah (FAD) Bulungan menuturkan sebagai generasi yang saat ini bertumbuh, dirinya pun berharap ada ruang aman dan nyaman untuk generasi saat ini bertumbuh dan berkembang.
“Harus ada ruang publik yang layak anak, dengarkan suara dan aspirasi kami, karena kami juga punya cita-cita. Kami punya hak untuk bersuara,” katanya.
Sementara itu, Aktivis Perempuan Kaltara Jannah memaparkan melalui momentum peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) kali ini, dapat menjadi sarana melihat kembali kondisi perempuan dan anak khususnya di Kaltara.
“Angka menunjukan masih cukup tinggi, tak sekedar kampanye pencegahan, sebab gerakan bersama dalam bentuk kongkrit juga diperlukan. Perempuan harus diberi ruang untuk bersuara dan berkarya, tingkatkan kapasitasnya,” ujarnya.
Gina menambahkan, dalam kesempatan ini juga disuarakan stop pernikahan anak dan kekerasan terhadap perempuan apapun bentuknya. Apalagi saat ini ada regulasi secara nasional yang bisa menjadi acuan, UU TPKS yang mempertegas agar tak ada lagi pelaku kekerasan terhadap perempuan.
“Sinergi bersama antar komunitas, pemerintah dan pihak terkait, diharapkan bisa menjadi sarana pencegahan dan mampu menekan angka kekeran dengan berbagai kegiatan kongkrit, seperti peningkatan kapasitas bagi perempuan dan keluarga,” tutupnya. (*)
Reporter: Heri Muliadi
Editor: Matthew Gregori Nusa