benuanta.co.id, TARAKAN – Kasus dugaan laka laut kini berubah menjadi pembunuhan sesuai dengan Pasal primer 338 tentang Pembunuhan yang ditujukan kepada terdakwa AS.
Kejadian mengerikan pada November 2021 lalu ini, kini telah berakhir dengan putusan majelis hakim, AS diputus pidana 13 tahun penjara. Putusan ini setahun lebih rendah dari tuntutan JPU pada sidang sebelumnya.
Juru Bicara Pengadilan Negeri Kelas 1B Kota Tarakan, Abdul Rahman Talib menjelaskan putusan ini berdasarkan musyawarah majelis hakim setelah melihat semua fakta persidangan ditentukan hal ini adalah pembunuhan. Dikatakan pembunuhan karena AS sadar mengendarai Speedboat tanpa memiliki SKK dan penerangan.
“Nekat mengendarai speedboat di malam hari, dia juga sadar kalau tidak ada SKK, penerangan juga tidak ada. Kalau dia waras pasti tidak akan berangkat, ini dia tetap nekat dan mengambil resiko tersebut. Kemungkinan besarnya kapalnya bertabrakan dengan kapal lain,” ungkapnya saat ditemui usai sidang, Senin (7/11/2022).
Keputusan inipun diambil karena pihak majelis sepakat dengan pandangan dari JPU. Ia menegaskan tidak sepakat dengan pandangan penasihat hukum yang mengatakan ini adalah kelalaian hukum.
“Sementara kelalaian itu adalah sudah terpenuhi semua meminimalisir resiko, tapi kalau yang ini kita lihat fakta hukum, lampu tidak ada, SKK tidak ada, agak ngebut juga berarti kan memang dia cari kecelakaan itu,” beber Abdul Rahman.
Menyoal putusan 13 tahun sendiri ia beracuan kepada Pasal 338 dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara. Namun, pihak majelis hakim mempertimbangkan sikap dari terdakwa yang berulangkali meminta maaf dan mengakui perbuatannya.
“Itulah yang kami pertimbangkan, kami tidak maksimalkan jadi kami turunkan 2 tahun. Untuk pihak yang kurang sepakat ya silahkan mengajukan upaya hukum yang di atur oleh undang-undang,” ucapnya.
Pada sidang putusan kali ini sempat terjadi cekcok antar keluarga korban. Untuk itu ia mengimbau, keributan apapun tidak akan merubah keputusan dan ketetapan dari sidang ini. Perubahan hanya bisa dilakukan ketika terdapat pihak yang mengajukan upaya hukum.
Disinggung soal keterlibatan oknum polisi HSB, ia mengungkapkan berdasarkan fakta hukum tidak ditemukan keterlibatan hubungan antara HSB dan ketiga korban yang meninggal akibat kejadian November 2021 itu. Sikap HSB selama ini yang dianggap menutup-nutupi hanya sekedar untuk melindungi speedboatnya agar tak disita.
“Jadi Herman yang punya speed, ini anak buah HSB kemudian Herman tidak kenal dengan korban juga, begitupun korban tidak kenal dengan HSB. Jadi kalau dibilang HSB punya rencana dari semua ini, kami tidak dapat motifnya, apalagi AS tidak kenal juga dengan korban. Kalau orang mau perencanaan pembunuhan kan harus ada dendam dulu,” urai Abdul Rahman.
“Kenapa HSB mau menutupi masalah ini kalau pemikiran kami sepertinya HSB mau menyelamatkan speednya supaya tidak disita, kalau melindungi pembunuh sepertinya tidak,” lanjut dia.
Terpisah, Kuasa Hukum salah satu keluarga korban atas nama Rizki, Rabshody Roestam mengatakan putusan pidana ini telah terbukti merupakan pembunuhan. Artinya, putusan ini sudah cukup kuat mematahkan statement pihak kepolisian yang mengatakan kejadian ini merupakan laka laut.
“Jadi sudah bisa terbantahkan, Kapolda pernah merilis ini adalah laka laut, tapi jaksa menghadirkan Pasal baru yakni 338 ini Pasal Primer,” katanya.
Pihaknya juga telah melakukan gugatan perdata yang salah satunya ditujukan kepada pihak kepolisian. Dalam gugatan tersebut terdapat komitmen saat mediasi apabila perkara ini sudah diputus maka pihak tergugat 1 pihak Kapolda akan melakukan penyidikan ulang.
“Jadi mungkin akan dicari tersangka baru, karena dalam perkara ini tidak mungkin satu orang bisa membunuh 3 orang. Ada juga barang bukti yang sampai sekarang itu belum didapatkan yaitu speednya, dalam hal ini penyidik harus gugat,” tegasnya.
Ia memohon kepada pihak Polda Kaltara untuk dapat melakukan penyidikan lebih lanjut. (*)
Reporter: Endah Agustina
Editor: Ramli