benuanta.co.id, TARAKAN – Inflasi di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) hingga Juli 2022 telah menyentuh diangka 5,72 persen untuk data year on year (YoY). Angka ini lebih tinggi dari perkiraan Bank Indonesia (BI) antara 2-4 persen. Apakah inflasi setinggi ini aman untuk provinsi termuda Kaltara?
Inflasi di Kalimantan Utara secara umum selama enam bulan terakhir selalu lebih tinggi dibandingkan angka inflasi secara Nasional. Misalkan pada bulan Februari tahun 2022, inflasi Nasional hanya sebesar 2,06 sementara Kaltara pada bulan yang sama inflasinya diangka 3,85 persen.
“Sampai bulan terakhir Nasional itu 4,74 di bulan Juli oleh BPS Kaltara yakni sebesar 5,72 persen year on year. Jadi target inflasi Bank Indonesia itu pada tahun 2022 kisaran 4 persen. Kenapa 2 sampai 4 persen itu menjadi pilihan dari Bank Indonesia karena inflasi seperti ini adalah inflasi yang bisa menggerakkan sektor produksi sekaligus sektor konsumsi,” ungkap Akademisi bidang ekonomi di Kaltara, Dr. Margiyono, SE, M.Si yang juga dosen prodi ekonomi di Universitas Borneo Tarakan (UBT).
Ia melanjutkan, kalau terjadi kenaikan harga pada produksi dan kenaikan harga pada komoditas maka produsen akan menambah kapasitasnya. Penambahan kapasitas produksi akan diikuti dengan penambahan peningkatan kerja, pendapatan masyarakat, jadi pada kondisi inflasi 2-4 persen itu produksi akan meningkat sekaligus daya beli akan meningkat.
Namun, kata Margiyono, yang menjadi masalah inflasi di Kaltara melebihi inflasi secara Nasional. Logikanya jika inflasi 5,72 persen, seperti pendapatan seseorang katakan Rp1 juta, maka uangnya terkoreksi akan hilang Rp57.200 akibat tingginya inflasi. Riil uangnya tidak turun tapi nominanya turun, ini akan berpengaruh pada daya beli masyarakat di Kaltara.
“Kenapa kenaikan inflasi di Kaltara karena polanya hampir sama didorong oleh kenaikan transportasi, dipengaruhi oleh biaya perumahan dan pendidikan. Mengapa itu terjadi karena untuk Kaltara itu membutuhkan biaya transportasi udara. Harga minyak (avtur) mendorong harga tiket naik, akhirnya inflasi dari sektor transportasi itu naik, akan berpengaruh pada naiknya biaya pengiriman barang ke luar kaltara,” terangnya.
Kemudian Kaltara masih bergantung dari daerah lain untuk pasokan pangannya. Di antaranya dari Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Jawa Timur (Jatim). Kondisi ini juga turut menjadi andil dominan penyebab inflasi dari sektor makanan.
“Kita paham bahwa Kaltara adalah daerah yang sebagian besar kebutuhannya di pasok dari luar terutama dari Sulsel dan Jatim. Kenapa jawaban atas tingginya inflasi itu karena hampir semua kebutuhan pokok itu dikirim dari luar daerah, kalau biaya transportasinya naik, otomatis biaya makan minumnya juga akan naik juga, akhirnya ini menurut saya akan menjadi permasalahan yang strategis dan fundamental,” ujarnya belum lama ini.
Kenapa fundamental, karena selama ada kenaikan maka akan ada kenaikan juga pada biaya transportasi. Kalau terjadi inflasi berarti terjadi penurunan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dr. Margiyono menilai risikonya lebih tinggi di Kaltara dibandingkan dengan wilayah lain.
“Jadi Kaltara ini memang karena ekonominya tergantung pada daerah lain, jadi kalau saya memberikan istilah itu 15 tahun yang lalu ekonomi Kaltara itu ekonomi yang mengambang jadi kalau airnya naik ya ikut naik, artinya kalau harga di Surabaya naik, Sulsel naik kita tidak ngapa ngapain aja nilai uang kita berkurang karena barang kita berasal dari sana,” jelasnya.
Urusan inflasi, telah tertuang di dalam Keputusan Presiden (Kepres) RI Nomor 23 Tahun 2017 tentang Tim Pengendalian Inflasi Nasional. Di daerah Kaltara telah ada Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) tingkat provinsi yang menurut kepres ini diketuai oleh Gubernur dan wakil ketua dari Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) di daerah.
Adapun tugas TPID di provinsi sebagaimana tertuang dalam kepres adalah melakukan pengumpulan data dan informasi terkait harga barang kebutuhan pokok dan jasa di tingkat provinsi, menyusun kebijakan pengendalian inflasi di tingkat provinsi, memperkuat sistem logistik di tingkat provinsi, berkoordinasi dengan tim pengendalian inflasi di pusat dan mengambil kebijakan dalam rangka penyelesaian hambatan dan permasalahan pengendalian inflas di tingkat provinsi.
Dr. Margiyono menilai tentu inflasi diangka 5,72 persen (YoY) hingga Juli 2022 turut membuat perwakilan Bank Indonesia resah karena telah melampaui angka inflasi dari BI. Ia menilai ini adalah persoalan serius yang harus disikapi oleh TPID di provinsi Kaltara.
“Kalau menurut saya, intinya kalau inflasi Kaltara sudah mencapai 5 persen sudah menjadi persoalan yang serius yang harus segera diupayakan oleh TPID. Selain dalam tingkat provinsi, juga tingkat kabupaten kota yang artinya ini para pekerja yang saat ini katakanlah tahun lalu punya hanya naik 3 persen sekarang rendah lagi karena tingginya inflasi,” ujarnya.
“Artinya apa, kalau tidak ada upaya untuk menstabilkan tingkat harga maka ini dampaknya akan rentetan yang panjang kalau inflasi ini tidak segera diturunkan maka pekerja dalam hal ini buruh tahun depan upahnya buruh minimal naik 6 persen. Persoalan kalau upah naik seperti itu, makin mahal bagaimana nasibnya investasi kita,” lanjutnya.
“Saran kami adalah memberdayakan PPID terkait inflasi daerah. Menurut saya sekarang harus ada penanganan serius untuk menangkal itu dan menstabilkan harga. Kalau upah kita tinggi orang tidak mau investasi ke sini, menggaungkan KIPI, siapa yang akan investasi kalau inflasi tinggi begini,” pungkas Dr. Margiyono.(*)
Penulis: Redaksi benuanta.co.id







