Perkara Minyak Goreng, Bukti Rapuhnya Pemerintah di Hadapan Mafia

Oleh: Agus Dian Zakaria

(Jurnalis dan Pegiat Literasi)

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
1585 votes

 

MESKI saat ini kelangkaan minyak goreng telah teratasi, namun dicabutnya Harga Eceran Tertinggi (HET) pada Minyak goreng, membuat harga salah satu jenis sembako ini meroket hampir dua kali lipat dari sebelumnya. Tentu hal ini menjadi beban baru bagi warga plus 62, saat perekonomian masyarakat belum sepenuhnya pulih dari masa transisi pandemi yang terjadi.

Dicabutnya Harga Eceran Tertinggi (HET) pada minyak goreng, seakan menjadi babak baru pertarungan Kartel versus pemerintah dalam mencapai kepentingannya. Harus diakui, pemerintah (memang) telah melakukan berbagai cara agar masyarakat dapat membeli minyak goreng dengan harga dan ketersediaan barang yang stabil. Namun bukannya tanpa sebab, kebijakan plat merah pula yang dianggap menjadi biang kerok terhadap kelangkaan hingga naiknya pangan dari sawit tersebut.

Sebagai negara produsen kelapa sawit terbesar, tiga tahun silam Indonesia resmi meluncurkan program B30 alias biodiesel yang merupakan salah satu jenis bahan bakar nabati untuk kendaraan. Di tahun pertama kebijakan tersebut tepatnya 2020 lalu, tanda-tanda kenaikan minyak goreng sudah terlihat lantaran terjadinya ketidakstabilan harga sawit nasional.

Berdasarkan kajian yang dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), adanya beberapa faktor yang mempengaruhi kenaikan harga minyak goreng. Salah satunya adalah harga CPO dunia yang sedang meningkat hingga 36,30 persen dari tahun ke tahun. Tentu momentum ini menjadi peluang manis bagi kartel minyak goreng untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya dalam mengalihkan CPO kepada industri biodiesel.

Pepatah Bang Napi mengatakan, kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi karena adanya kesempatan. Mungkin seperti itulah pepatah yang pas menggambarkan para mafia yang sudah membuat Mendag Lutfi sulit melaksanakan ibadah ramadan dengan tenang.

Di lain sisi, pengakuan mengejutkan datang dari Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) yang mengakui sejak mei 2020 hingga saat ini, harga CPO sudah naik hampir 100 persen. Kata dia, produksi minyak goreng di Indonesia memang masih bergantung pada harga CPO dunia. Sehingga menurutnya kenaikan harga CPO membuat harga minyak goreng ikut melambung. Bahkan, Mendag Muhammad Lutfi sendiri pun mengakui dalam pemberitaan di salah satu media ternama, lonjakan harga CPO tak lepas dari kebijakan penggunaan program biodiesel (B30). Ia pun tidak segan menyebut kebijakan itu menjadi biang kerok naiknya harga kelapa sawit yang menjadi bahan baku minyak goreng.

Tidak dipungkiri, prinsip kapitalis yang mengajarkan bisnis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya merupakan tujuan setiap perusahaan. Namun, di negara berdaulat dalam sistem ekonomi pancasila, Indonesia tentunya dapat menerapkan kebijaksanaan untuk mencapai keadilan. Sehingga, ketegasan dan keberanian pemerintah sangat diperlukan demi kesejahteraan masyarakat salah satunya melakukan evaluasi kebijakan tersebut.

Namun patut diapresiasi, sikap gentleman dan keberanian Mendag Lutfi yang meminta maaf kepada masyarakat dan mengungkapkan adanya campur tangan mafia pada persoalan minyak goreng saat ini. Hal itu diungkapkannya saat menghadiri rapat bersama Komisi VI DPR-RI pada Kamis 17 Maret 2022 yang dimuat Jawa Pos National Network (JPNN),

Meski sebelumnya, permintaan maaf itu juga diwarnai pembelaan diri dengan ‘mengkambing hitamkan’ invasi Rusia ke Ukraina. Alasannya, Rusia dan Ukraina merupakan negara yang memproduksi minyak dari biji bunga matahari terbesar. Sehingga, terjadinya peperangan membuat pengguna minyak biji matahari atau sunflower beralih ke CPO sebagai pemenuhan industri biodiesel dalam penerapan kebijakan B30. Meski kalau dipikir-pikir alasan tersebut juga cukup berdasar untuk menjadi salah satu faktor naiknya harga minyak goreng. Namun sepertinya, alasan itu tidak layak menjadi faktor utama di negara dengan sejuta lahan sawit seperti Indonesia.

Cukup ironi rasanya hidup dalam salah satu negara penghasil CPO terbesar di dunia, namun rakyatnya harus membeli minyak goreng dengan harga selangit. Wajar kalau para jelata sejak awal mulai curiga jika babak baru dari kelangkaan minyak goreng, berlanjut kepada meroketnya harga komoditi tersebut.

Perlu diketahui, Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat, luas perkebunan minyak kelapa sawit mencapai 15,08 juta hektare (ha) di tahun 2021. luas perkebunan tersebut naik 1,5 persen dibanding tahun sebelumnya yang seluas 1,48 juta ha. Dari 15,08 juta ha yang ada, mayoritas kebun dimiliki oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) dengan luasan 8,42 juta ha dengan persentase 55,8 persen. Diprediksi, perkebunan sawit akan terus mengalami pertambahan baik di Kalimantan, Sumatera, Riau, Sulawesi dan Papua setiap tahunnya. Namun dengan hasil alam yang melimpah, sepertinya tidak menjamin suatu negara mudah memenuhi kebutuhannya. Apakah dengan hasil sawit yang melimpah, pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa, jawabannya tentu tidak. Sebab pemerintah bisa saja bersikap tegas dalam mengancam sanksi bagi perusahaan sawit nakal atau sekedar meyakinkan Jokowi untuk mengevaluasi program B30 yang dinilai menjadi biang kerok tersebut.

Apa mungkin, negara dengan sejuta perkebunan sawit seperti Indonesia perlu memasukkan minyak goreng pada daftar jenis pangan yang akan diimpor dari negara tetangga. Tentu hal ini sangat tidak lucu. Dan Kalau mungkin terjadi meski cukup mustahil, maka izinkan kami kembali menduga-duga, aktivitas pemerintah yang selama ini kerap mengimpor, bisa jadi didasari besarnya kekuatan mafia dalam memegang kendali pengaturan harga. Toh impor atau tidaknya suatu kebutuhan, harganya mungkin berpotensi sama dengan yang diproduksi dari dalam negeri.

Barangkali tekanan itu pula yang membuat Muhammad Lutfi harus jujur menyebut terang-terangan adanya permainan mafia saat kelangkaan minyak goren terjadi. Hal itu diungkapkannya saat menghadiri rapat bersama Komisi VI DPR-RI pada Kamis 17 Maret 2022 yang dimuat Jawa Pos National Network (JPNN). Bahkan, dalam kesempatan itu ia meminta maaf ke masyarakat karena tidak bisa mengontrol mafia. Pihaknya pun juga tidak bisa memberikan penindakan pada mafia karena batasan kewenangan dalam undang-undang.

“Kami Kementerian Perdagangan minta maaf karena tidak bisa mengontrol mafia. “Kementerian Perdagangan tidak dapat mengontrol, karena ini sifat manusia yang rakus dan jahat,” jelas Mendag Lutfi pada rapat yang berlangsung di Gedung DPR, pada 17 Maret lalu.

Tidak cukup hanya meminta maaf, Mendag Lutfi juga mengaku telah melaporkan beberapa orang yang diduga paling bertanggung jawab atas kelangkaan dan meroketnya harga minyak goreng.
Mendag Lutfi pun membeberkan telah memberikan data terkait praktik mafia minyak goreng tersebut ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri agar dapat diproses hukum.

Tapi, di negeri Wakanda yang kita cintai ini selalu memberikan misteri. Meski Mendag Lutfi telah menegaskan sudah memberikan data, namun hal mengejutkan datang dari pernyataan Wakil Ketua Satgas Pangan Polri Brigjen Whisnu Hermawan Satuan Tugas (Satgas) Pangan Polri belum mengetahui informasi terkait adanya pengumuman tersangka dugaan mafia minyak goreng yang disampaikan Lutfi. Ia menjelaskan tidak ada penyampaian apa pun baik data dan temuan Kemendag apa pun yang disampaikan dan diserahkan ke Polri. Pernyataan itu dimuat dalam pemberitaan Kompas pada 22 Maret 2022 lalu.

Di lain sisi, dalam pemberitaan yang sama Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan menyatakan hal yang berseberangan, ia mengaku pihaknya juga belum mendapatkan informasi terkait pengumuman tersangka kasus mafia minyak goreng yang disampaikan Menteri Perdagangan. Ia menegaskan, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipieksus) dan Satgas Pangan Polri telah menanyakan pernyataan tersebut ke pihak Kementerian Perdagangan (Kemendag), tetapi belum mendapatkan respons.

Tentunya persilangan pernyataan ini menjadi hal yang Waow bagi masyarakat. Bagaimana tidak, kedua badan yang menjadi harapan masyarakat menuntaskan hal ini, harus berujung lahirnya pertanyaan besar masyarakat siapa kah sebenarnya yang berkuasa di negeri Wakanda ini.

Kejadian ini bukan hanya sebuah peristiwa menyedihkan, namun hal ini telah menimbulkan kekecewaan masyarakat yang tentu mengharapkan ketegasan dan keberanian pemegang kekuasaan.
Perkara minyak goreng ini sungguh telah menampar wajah Indonesia sebagai negara penghasil sawit terbesar. Jadi amat wajar, jika sebagian masyarakat mempertanyakan kekuatan dan pengaruh pemerintah dalam mengontrol aktivitas perdagangan dalam negeri.

Kalau perkara minyak goreng hari ini bisa kita maklumi, maka hal serupa mungkin saja terjadi pada komoditi lainnya di kemudian hari. Tinggal tunggu saja, semua akan dieksekusi, dikemas secara rapi. Melihat kondisi ini, sekali lagi memancing kita untuk bertanya, apakah kekuasaan pemerintah mulai rapuh atau mafia yang semakin tangguh.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *