benuanta.co.id, TARAKAN – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan Utara (Kaltara), menyambut baik penjelasan Dewan Pimpinan MUI tentang fatwa pelaksanaan ibadah di masa pandemi. Berdasarkan fatwa tersebut MUI Kaltara memperbolehkan Salat Jumat, Tarawih dan Idul Fitri (Ied) dengan saf rapat, namun tetap menggunakan masker.
Surat keputusan dengan nomor: Kep-28/DP-MUI/III/2022, disampaikan Wakil Ketua MUI Kaltara, Syamsi Sarman, yang akan disosialisasikan ke seluruh umat Islam.
“Kebetulan saya ikut membahas pada waktu itu, jadi sudah bisa salat berjamaah di masjid dengan jarak saf sudah bisa normal seperti biasanya,” jelas Wakil Ketua MUI Kaltara, Syamsi Sarman kepada benuanta.co.id, Senin (14/3/2022).
Meski aktivitas beribadah telah berjalan normal tanpa pembatasan, MUI tetap mengimbau masyarakat untuk tetap menjaga diri terhadap penularan Covid-19, agar situasi kesehatan berjalan normal.
“Tidak ada lagi pembatasan, terbuka seperti umumnya. Namun tetap ada penekanan mengenakan masker selama kegiatan di rumah ibadah,” tambah Sekretaris FKUB Tarakan itu.
“Lalu vaksinasi yang belum dilengkapi, minimal sampai vaksin kedua. Itu sebagai ikhtiar kita lah,” tutupnya.
Dikutip melalui antaranews.com, Surat Bayan (penjelasan) Dewan Pimpinan MUI tentang Fatwa terkait Pelaksanaan Ibadah dalam Masa Pandemi, telah ditetapkan sebagai pedoman beribadah umat Islam.
“Umat Islam wajib menyelenggarakan Salat Jumat dan boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak, seperti jamaah salat lima waktu/rawatib, Salat Tarawih dan Id (Idul Fitri) di masjid atau tempat umum lainnya. Serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim dengan tetap menjaga diri agar tidak terpapar Covid-19,” demikian surat Bayan yang ditandatangani Ketua Komisi Fatwa Asrorun Niam dan Sekjen MUI Amirsyah Tambunan yang diterima di Jakarta, Jumat (11/3/2022).
Kini dalam surat Bayan tersebut disebutkan bahwa umat Islam boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak seiring dengan adanya pelonggaran aturan pencegahan COVID-19.
MUI menilai status hajah syariyyah yang menyebabkan adanya rukhshah atau hukum yang meringankan sudah hilang, karena didasarkan pada kebijakan pemerintah.
“Dengan demikian, pelaksanaan salat jamaah dilaksanakan dengan kembali ke hukum asal (azimah), yaitu dengan merapatkan dan meluruskan saf (barisan),” pungkasnya. (*)
Reporter : Kristianto Triwibowo
Editor : Yogi Wibawa