“Makan saja sengsara, satu kali dalam sehari”
benuanta.co.id, NIAT mendapat upah lebih tinggi berubah menjadi petaka bagi Yuli Yustina, yang menjadi korban kejahatan agen penyalur pekerja di negeri seberang, Malaysia.
Warga Desa Senanga, Kecamatan Nanga Taman, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat ini tergiur iming-iming dari agen penyalur TKI di Malaysia.
Maklum waktu itu usia Yuli baru beranjak 16 tahun, belum mengetahui apapun tentang TKI. Tak peduli seberapa jauh lokasi tempat kerja itu, yang penting bisa mengadu masih di tanah perantauan lintas negara.
Yuli Yustina menceritakan, tahun 2001 silam dia diberangkatkan dari Kalimantan Barat (Kalbar) ke Sarawak, Malaysia. Dia dan beberapa TKI ditampung di sebuah hotel secara terpisah dengan yang lainnya.
Sebelum keberangkatan, dokumen ataupun surat menyurat yang dimilikinya sangat lengkap. Namun dokumen itu diambil oleh majikannya di Malaysia, hingga kini tidak dikembalikan
Begitu pula dengan uang tunai Rp 900 ribu sekaligus perhiasan miliknya juga diembat oleh agen penyalur TKI.
“Saat itu kami diminta untuk melepaskan semuanya perhiasan dan uang. Katanya (agen) takut dituduh mencuri sama majikan. Saat itu kami tidak tau apa-apa jadinya kami kasih saja,” kata Yuli, kepada benuanta.co.id, Ahad (12/12/2021).
Sewindu lebih banting tulang menjadi TKI tanpa gaji, diakuinya terasa berat menjalani hari. Bahkan untuk sekadar mengisi kekosongan perut ketika lapar hanya dibatasi sehari sekali.
“Makan saja sengsara, satu kali dalam sehari,” lirihnya.
Selama delapan tahun bekerja, sepersen pun upah yang dijanjikan agen penyalur ini tak diterimanya. Menyadari kecurangan itu, bulat sudah tekadnya melepaskan belenggu selama bekerja sebagai TKI. Lalu melarikan diri dari majikannya pada tahun 2008, waktu itu dia belum berkeluarga.
Singkat cerita, selama pelarian dari majikannya. Yuli pun menemukan seorang lelaki warga Indonesia yang bekerja di ladang sawit Malaysia. Dari pertemuan itu, Yuli pun dipersunting secara sirih dan dikaruniai 6 orang anak.
Dua belas tahun mengarungi bahtera perkawinannya. Tuhan berkehendak lain terhadap suaminya yang lebih dulu menghadap sang pencipta.
“Suami saya tidak ada penyakit bawaan, juga pernah diperiksa ke dokter tidak ada apa-apa. Pas bulan Februari genap satu tahun (meninggalnya),” kenangnya.
Sepeninggalan suami, Yuli terpaksa menanggung beban lebih untuk menafkahi keenam buah hatinya. Mau tak mau, dia pun bekerja sebagai buruh kasar. Lebih tepatnya, menombak sawit dengan upah sekitar RM 600 per bulan. Kata dia, upah itu belum termasuk dipotongan uang makan.
“Setelah suami meninggal saya tanggung anak-anak,” ucapnya.
Lama diperantauan, kerinduan akan kampung halaman di Indonesia juga tak terelakkan. Yang pada akhirnya memutuskan untuk pulang ke Tanah Air.
Beruntungnya, kepulangan Yuli dan anak-anaknya juga mendapat perlindungan khusus dari Konsulat Indonesia dan dideportasi ke Indonesia melalui Nunukan, Jumat 10 Desember 2021 kemarin.
Meski tak tahu bagaimana kondisi kampung halamannya setelah belasan tahun merantau. Yuli tetap bersyukur masih bisa diberi kesempatan untuk kembali ke Indonesia.
“Alhamdulillah masih bisa pulang ke Indonesia. Rindu kampung halaman, tempat saya dibesarkan dulu,” tutupnya. (*)
Reporter : Darmawan
Editor : Yogi Wibawa