Catatan
H. Rachmat Rolau
(Wartawan Senior)
BEBERAPA pekan lalu, di sebuah kedai kopi, saya ngobrol bersama kawan-kawan. Obrolan itu seputar kunjungan Presiden, Ir H. Joko Widodo ke Kalimantan Utara (Kaltara). Mengapa kunjungan presiden yang jadi obrolan? Karena menurut catatan, Pak Jokowi – demikian rakyat Indonesia menyapanya, sudah empat kali berkunjung ke Kaltara, provinsi termuda di Indonesia.
Bahkan sebuah harian terbesar di Kaltara mengabarkan, Pak Jokowi yang merakyat itu bakal berkunjung lagi ke Kaltara, medio Desember. Presiden akan didampingi Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, dan sejumlah menteri. Mereka akan melakukan ground breaking pada proyek Kawasan Industri dan Pelabuhan Indonesia (KIPI) di Kabupaten Bulungan.
Sejauh yang saya ketahui, baru ini kali seorang presiden mengunjungi daerah di luar Pulau Jawa sesering itu. Artinya, kunjungan Pak Jokowi yang sudah keempat kalinya, merupakan bentuk perhatian sekaligus penghargaan terhadap pemerintah dan masyarakat Kaltara. Terlebih lagi jika benar akan berkunjung lagi untuk ke lima kalinya.
Kalau Pak Jokowi mencurahkan perhatian yang begitu besar terhadap Kaltara, lantas penghargaan apa yang layak untuk diberikan pada presiden sebagai balasan atas perhatiannya? Pertanyaan ini memantik banyak jawaban. Mulai dari penghargaan dalam bentuk plakat, sampai pada gelar kehormatan.
Lalu saya berpikir. Apa kurang etis, kalau penghargaan yang akan diberikan untuk Pak Jokowi, berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP)? Sebagian teman mendukung. Mereka katakan, penghargaan dalam bentuk KTP terbilang langka. (Mungkin) baru Kaltara yang memberikan penghargaan pada presiden berupa KTP khusus.
Biasanya, di beberapa daerah yang dikunjungi, presiden selalu menerima “gelar kehormatan” atas kunjungannya. Gelar itu umumnya diserahkan oleh “tetua” adat yang ditandai dengan pemasangan pakaian kebesaran oleh tokoh adat daerah setempat.
Itulah alasan mengapa teman-teman berpikir untuk menghadiahkan KTP khusus kepada Pak Jokowi sebagai kenang-kenangan. Ada juga yang kurang sependapat soal ini. “Mereka bilang, apalah arti sebuah KTP. Toh, Pak Jokowi tinggalnya di Jakarta”?
Hanya saja, yang menjadi pertanyaan adalah, siapa yang akan memberikan KTP itu? Prosedur untuk mengeluarkan KTP untuk seorang presiden seperti apa? Lalu alamatnya di mana? Masuk dalam Kartu Keluarga siapa? Inilah persoalannya.
Andai angan-angan pemberian KTP “khusus” ini direspon para pihak, tentu tidak berlaku syarat. Misalnya, alamat, Kartu Keluarga (KK) dan seterusnya. Sebab, KTP khusus ini hanya dimaksudkan sebagai KTP khusus “warga kehormatan”, bukan identitas penduduk tetap. Lagi pula hukum administrasi negara memang melarang seseorang memiliki dua KTP yang berbeda.
Intinya, sepanjang pemberian KTP khusus “warga kehormatan” untuk Pak Jokowi dilandasi niat baik, tentu tidak terlalu sulit membuatnya. Yang penting, ada semacam koordinasi antara pemerintah, anggota DPRD sebagai representasi dari rakyat, tokoh adat, dan tokoh paguyuban.
Dengan menjadi “warga kehormatan”, Pak Jokowi akan selalu ingat Kaltara. Sebab, beliau sudah merupakan bagian dari warga Kaltara. Selamat datang Pak Jokowi. Semoga Kaltara yang saat ini ‘dinakhodai” oleh gubernur, Zainal Arifin Paliwang dan wakilnya, Yansen TP, dapat membawa perubahan besar melalui slogan mereka: “Kaltara Rumah Kita”. (**)