benuanta.co.id, TARAKAN -Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level IV di Kota Tarakan hingga 6 September mendatang, menuai penurunan omzet bisnis oleh pelaku usaha perikanan. Pun demikian, akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Borneo Tarakan juga senada bahwa sektor perikanan alami dampak.
Hal demikian dirasakan oleh Zaid Hadi yang merupakan salah satu pengusaha olahan Ikan Pepija menjadi produk ikan kering di Juata Laut Kecamatan Tarakan Utara. Zaid sudah merintis usaha produksi ikan pepija sejak 2009 hingga saat ini.
Selama pandemi Covid-19 ditambah PPKM Level IV, dirinya beberkan turunnya produksi secara drastis. Sebelum pandemi Covid-19 ia mampu memproduksi ikan tipis tersebut hingga 1,5 sampai 2 ton, saat ini jumlah tersebut berada dibawah kondisi normal.
“Produksi menurun drastis, sekarang 500 kilogram aja sangat sulit kita peroleh,” ungkap dia kepada benuanta.co.id pada Selasa, 31 Agustus 2021.
Selain itu, tidak jarang pihaknya alami kesulitan dalam pengiriman produk ke luar daerah. Kata dia, dahulu pengiriman berjalan lancar, kini hal itu dirasakan terhambat. Bahkan penjualan di pasar lokal pun menurun.
“Jadi langganan kita di pasar-pasar yang ada di Tarakan seperti pasar Sebengkok, beringin menurun juga omzetnya karena PPKM dan kurangnya tamu yang datang,” terangnya.
Beberapa waktu lalu, benuanta.co.id juga mewartakan keterangan dari Zaid Hadi yang menyebut kendala utama baginya dalam mengembangkan usaha ikan pepija adalah masalah permodalan.
Nelayan bisa turun melaut dimodali pengusaha ikan. Ikan hasil tangkap nelayan akan diolah pengusaha dijadikan ikan tipis siap jual. Sehingga terjadi perputaran ekonomi antara pengusaha ikan tipis dengan nelayan lokal.
Harga jual ikan pepija per kilogram dibanderol Rp 100-125 ribu dari tangan pengusaha atau pengrajin. Namun, harga di pengecer seperti di pasaran mengalami perubahan tentu di atas harga dari pengusaha. Tapi menurut Zaid, selama pandemi harga ikan pepija mengalami peningkatan secara signifikan kisaran Rp150-170 ribu sehingga di pengecer harga sampai Rp 200 ribu bahkan lebih.
“Kita kalau mau dijadikan untuk besar pastinya permodalan, yang menggunakan uang itu untuk nelayan. Istilahnya kita membiayai nelayan, hasil nelayan kita yang kumpulkan, pendanaan itu banyak di nelayan. Keluhan pengusaha itu permodalan, kita tidak dapat bahan baku kalau nelayan tidak dimodali,”ucapnya pada Kamis, 26 Maret 2021 lalu.
Pada waktu itu, pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris KNPI Tarakan itu menekankan perlunya perhatian khusus kepada nelayan ikan pepija dari pemerintah. Nelayan menggantungkan hidupnya dan keluarganya pada penangkapan ikan nomei tersebut.
Dikatakan Zaid, para pengusaha ikan pepija juga berkontribusi terhadap pendapatan asli daerah karena mereka ikut membayar pajak usaha ke pemerintah daerah.
“Selama pandemi kami cukup kesulitan karena pendapatan menurun akibat produksi menurun, jadi kita bayar pajak kalau ada laporan produksi ikan pepija, yang jelas tidak seperti masa normal sebelum pandemi,” pungkasnya.
Sementara itu, pada Selasa, 31 Agustus 2021, akademisi UBT dari (FPIK) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Dr. Muhammad Firdaus, S.Pi.,M.Si yang giat meneliti tentang ikan nomei menilai dampak PPKM Level IV terjadi pada industri yang menampung dan mengelola produk hasil perikanan.
“Yang terdampak itu pos-pos penampung, usaha pengolahan yang menerima hasil tangkapan nelayan. Selama PPKM, itu apakah karyawan diatur jam kerjanya, waktu operasinya, akhirnya nelayan terbatas untuk menjual hasil tangkapannya,” ungkap Dr. Muhammad Firdaus, S.Pi.,M.Si.
Jelas dia, waktu kerja nelayan pada umumnya tidak menentu dan sulit diatur untuk menyesuaikan jam operasional pos-pos penampung yang mengikuti anjuran PPKM Level IV.
“Sehingga nelayan pun terdampak, karena hilir penjualannya alami perubahan akhirnya hasil tangkapannya tidak banyak yang dapat dibeli oleh para penampung,” lanjutnya.
Selain itu, terdampak pula pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dialami oleh nelayan. Dirinya sempat menerima kabar dari nelayan alat tangkap Tugu yang mengeluhkan pihaknya harus membeli BBM di darat akibat PPKM, sedangkan sebelumnya terdapat di area laut.
Menurutnya, kemampuan daya beli masyarakat juga berpengaruh terhadap penjualan ikan di pasaran. “Ketika nelayan mungkin ada yang langsung menjual di pasar, tentu akan berbeda jumlah pembelian jika aktifitas pasar itu terbatas waktu dan mobilenya,” imbuhnya.
Dr. Muhammad Firdaus, S.Pi.,M.Si menuturkan bahwa dukungan permodalan dan pemberdayaan nelayan serta pelaku usaha perikanan lainnya dapat menjadi stimulus agar sektor perikanan tetap produktif.(*)
Reporter : Kristianto Triwibowo
Editor: Ramli