Revitalisasi Lahan Non Produktif di Provinsi Kalimantan Utara

Oleh: Sukmawaty Arisa Gustina
(Dosen Fakultas Hukum UBT)

TULISAN ini merupakan hasil kegiatan FGD (Focus Group Discussion) tentang tugas dan wewenang DPD RI dalam melakukan pemantauan Ranperda dan Perda. Kewenangan ini merupakan amanat UU No. 2 Tahun 2018 tentang Perubahan kedua UU MPR, DPR, DPD dan DPRD atau disebut UU MD3 pada Pasal 249 ayat 1 huruf J tentang konteks tugas dan wewenang DPD atas pemantauan dan evaluasi ranperda dan perda.

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
1237 votes

Kegiatan yang terselenggara atas kerja sama DPD RI dan Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan pada tanggal 25 Juni 2021 bertempat di Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan, dihadiri para narasumber dan pemakalah yang terkait dengan pembahasan pelaksanaan tugas pemantuan dan evaluasi atas ranperda dan perda, juga mengenai diskusi tentang peraturan daerah RTRW provinsi, kab/kota pasca ditetapkannya PP No. 21 Tahun 2001 tentang penyelenggaraan penataan ruang.

Kesempatan yang menarik dan menghangatkan diskusi ini menjadi berkembang, dengan hadirnya Dr. Drs. Marthin Billa, MM selaku Ketua BULD (Badan Urusan Legiaslasi Daerah) DPD RI senator Kalimantan Utara yang juga pernah menjabat Bupati Malinau periode 2000-2010. Beliau telah merasakan harmonisasi kewenangan antar pemerintah pusat dan daerah.

FGD ini membahas tentang salah satu tugas DPD sebagai legislative review, yang mana berdasarkan  UU No. 2 Tahun 2018 tentang Perubahan kedua UU MPR, DRP, DPD dan DPRD atau dikenal dengan istilah UU MD3. Pasal 249 Ayat (1) Huruf J UU MD3 mengamanatkan wewenang baru bagi DPD RI dalam pemantauan dan evaluasi  baik ranperda dan perda. Yang salah satu outputnya yaitu perda tentang RTRW provinsi, kabupaten/kota. BULD sebagai alat kelengkapan DPD RI yang ditugaskan mengawal kewenangan ini dalam bentuk supervisi ranperda, perda dan mengawal kepentingan maupun perjuangan pemerintah daerah di pusat.

Penulis sebagai salah pemakalah dalam diskusi coba mengangkat tema bagaimana perluasan kewenangan kepala daerah baik Gubernur, Bupati/Walikota dalam merevitalisasi lahan non-produktif dalam pencanangan RTRW daerah. Bagaimana kewenangan Kepala Daerah dalam mengimplementasikan RTRW yang telah disusun dapat terwujud secara optimal kedepan nantinya?

Revitalisasi pengelolaan lahan non produktif di Kalimantan Utara sedikit mengalami hambatan baik dalam hal pengembangan kawasan perbatasan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat berbasis kelestarian lingkungan, peningkatan fungsi kawasan perbatasan untuk pertahanan dan keamanan negara, penguatan sistem perkotaan dan sinergi hubungan fungsional kota-desa, pembangunan kawasan berbasis daya dukung dan daya tampung lingkugan-lingkungan  mitigasi bencana, pembangunan kawasan berbasis kearifan lokal dan pembangunan sistem jarigan prasarana wilayah.

Pada kenyataannya, tujuan penataan ruang di Provinsi Kalimanta Utara adalah selain sebagai landscape tata kelola ruang dan wilayah yang berkelanjutan bagi pemerintah, masyarakat dan negara. Kalimantan Utara juga merupakan wilayah dengan kecirian khusus sebagai wilayah perbatasan NKRI baik darat, laut maupun udara Indonesia sudah pasti ada aspek kedaulatan negara didalam pengelolaannya.

Problem penguasaan lahan oleh instansi vertikal, perusahaan BUMN maupun perusahaan swasta di daerah merupakan salah satu faktor penting yang perlu diharmonisasi dalam kewenangan dan pengelolaannya, sebagaimana studi kasus terbesar adalah wilayah kota Tarakan dan kabupaten Tana Tidung. Untuk mencapai tata kelola lahan non-produktif yang mampu mendukung realisasi tata kelola lahan yang telah disusun dalam RTRW daerah, salah satu acuan yang bisa diimplementasikan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan  Penataan Ruang. PP ini merupakan turunan atau aturan pelaksanaan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Maksud penyelenggaraan penataan ruang dalam PP No 21 Tahun 2021 yaitu untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan lintas sektor, lintas wilayah dan lintas pemangku kepentigan yang termanifestasi dalam penyusunan Rencana Tata Ruang, pemaduserasian antara struktur ruang dan pola ruang, penyelarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungan, perwujudan keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antar daerah, serta penciptaan kondisi yang mendukung iklim investasi dan kemudahan berusaha.

Sedangkan dalam amanat tata kelola pemerintahan, pemerintah dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut asas otonomi daerah dan tugas pembantuan yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, efesiensi dan efektifitas dengan memperhatikan potensi dan kekhususan suatu daerah.

Kewenangan Kepala Daaerah ini sebagai tugas pembantuan diperkuat dalam Pasal 10 ayat (3) UU No 32 Tahun 2004. Dan selanjutnya dipertegas dengan ketentuan Pasal 5 TAP MPR RI No.XV/MPR/1998 menyebutkan bahwa pemerintah daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan. Melalui kewenangan bidang pertanahan yang seluasnya, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah dengan memberikan hak dan kewajibannya, maka pemerintah daerah melalui kebijakannya dapat secara efektif dan efisien dapat menata, mengelola dan memanfaatkan lahan-lahan yang ada di daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan bernegara.

Tulisan ini setidaknya memberikan dasar gambaran kewenangan kepala daerah didalam mengatur wilayahnya sebagai asas tugas pembantuan dan kewenangan otonomi daerah. Perlu kajian yang lebih mendalam lagi untuk menuju tata kelola ruang dan wilayah serta kewenangan Kepala Daerah dalam mengatur wilayah sesuai dengan karakteristik dan kepentingan masyarakat daerahnya. Karena itu semangat dari lahirnya UU Otonomi Daerah.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *