May Day: Perjuangan Membalikkan Nestapa Kaum Buruh

Oleh: Surya Yuniza

(Ketua DPW Partai Gelora Indonesia Provinsi Kaltara)

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
1236 votes

 

MAY day 1 Mei hari ini seperti mengulangi nestapa kaum buruh tanah air. Belum selesai pandemi yang mengakibatkan ekonomi buruh terpuruk serta gelombang penghentian kerja (PHK), kini buruh menghadapi ujian baru yaitu terbitnya PP No 35 tahun 2021 tentang turunan pelaksanaan UU cipta kerja atau Omnibus Law.

21 Februari 2021 lalu Presiden telah meneken peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang terdiri atas 45 Peraturan Pemerintah dan 4 Peraturan Presiden yang dilatarbelakangi keinginan untuk melakukan Pemulihan ekonomi nasional.

Namun PP yang diharapkan memberi angin surga justru lebih banyak mudharat bagi kaum buruh dan sangat jauh dari upaya membantu pemulihan ekonomi nasional. Isi dari PP Nomor 35 Tahun 2021 yang merugikan buruh ialah memungkinkan perusahaan tidak membayar penuh uang pesangon kepada pekerja yang terkena PHK dengan alasan tertentu.

Pengusaha menurut PP tersebut dapat melakukan PHK secara sepihak karena alasan efisiensi yang disebabkan kerugian. Dalam isinya disebutkan para Pekerja/Buruh yang di PHK hanya memperoleh uang pesangon sebesar 0,5 kali sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (2) dan Uang Penghargaan Masa Kerja sebesar satu kali sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (3).

Selain soal pesangon, PP Nomor 35 Tahun 2021 ini juga mengatur soal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Disebutkan dalam pasal 8 PP 35/2021 bahwa batas waktu maksimal kontrak pekerja adalah selama 5 tahun. Hal ini sangat jauh dari ketentuan sebelumnya pasal 59 UU No 13 tahun 2003  yang membatasi PKWT hanya selama 2 tahun.

Perjuangan Konstitusi

Akibat ditekennya aturan pelaksana UU cipta kerja, kaum buruh tetap akan berada di jalur konstitusi. Aksi may day yang digelar hari di gedung MK jakarta akan menjadi momen perjuangan konstitusi disaat keluhan buruh tidak didengar oleh lembaga legislatif dan eksekutif.

Salah satu yang akan diperjuangkan buruh ialah hilangnya kepastian pendapatan seperti yang disampaikan ketua SPSI, Said Iqbal dalam konferensi pers virtual, Selasa (27/4/2021).

Yang disampaikan ketua SPSI itu bukan tanpa alasan. Hilangnya kepastian pendapatan para buruh tercermin dalam pengertian bahwa Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dapat diputuskan oleh gubernur. Said mengungkapkan kata dapat menunjukkan ketidakpastian karena gubernur juga tidak bisa menetapkan.

UMK tidak akan ditentukan lagi secara sektoral namun langsung ditetapkan oleh provinsi dalam hal ini gubernur. Namun jika yang diambil adalah UMK terendah maka wilayah yang sebelumnya berupah UMK lebih tinggi akan sangat dirugikan.

Ketidakpastian ini bisa jadi menimbulkan ketidakadilan. Karena bukan tidak mungkin ada tarik ulur kepentingan pengusaha yang akan mendorong pemerintah daerah untuk tidak menetapkan besaran UMK yang seharusnya.

Jika suara rintihan buruh nantinya tidak lagi didengar oleh para hakim MK, kepada siapa lagi buruh mengadu. Semoga Ramadhan kali ini, Tuhan mengetuk pintu hati para pemegang mandat keadilan.

Fiat justitia ruat coelum atau fiat justitia pereat mundus (sekalipun esok langit akan runtuh atau dunia akan musnah, keadilan harus tetap ditegakkan).

Selamat memperingati Hari Buruh 1 Mei 2021.(*)

 

Catatan: Tulisan ini menjadi tanggung jawab dari penulis jika ke depan berdampak sosial atau delik hukum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *