Waspada Flu Babi Afrika

AFRICAN Swine Fever (ASF) atau Flu Babi Afrika adalah virus yang menyerang hewan ternak seperti babi. ASF dikenal sebagai pembunuh babi tercepat dengan persentase 100 persen jika menyerang babi. Flu Babi Afrika ini pertama kali ditemukan di negara Kenya di Benua Afrika pada tahun 1921 silam. Tak menutup kemungkinan Flu Babi Afrika ini juga merebak di Kalimantan Utara (Kaltara), sebab penyebaran Flu Babi Afrika sudah sampai di Sandakan, Sabah Negara Malaysia. Jika tidak ada antisipasi yang baik, bisa saja kerugian akan melanda para peternak babi di Kaltara ke depannya.

Seiring waktu, Flu Babi ini terus menyebar dari Afrika dan ditemukan kasus yang sama di Benuan Eropa, yakni di Portugal tahun 1957. Berlanjut menyebar ke Benua Amerika di Brazil dan Karibia pada tahun 1961. Flu babi ini juga telah menyebar di sejumlah negara eropa lainnya.

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
2020 votes

Kementerian Pertanian mencatat virus pembunuh babi tercepat ini sudah menyebar ke negara-negara Asia diantaranya Mongolia, Vietnam, Kamboja, Korea Utara, Laos, Filipina, Myanmar, Timor-Leste, Korea Selatan, Malaysia hingga Indonesia. Bahkan, di Indonesia sejumlah provinsi sudah tercatat menjadi wilayah penyebaran virus babi tersebut.

Di Indonesia, virus ASF pertama kali ditemukan di Sumatera Utara (2019). Lebih dari 40 ribuan babi mati terserang virus ini. Kemudian menyusul daerah lainnya seperti Sumatera Barat, Bali, dan Riau. Di tahun 2020 ditemukan lagi virus ini di Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Virus ini sudah masuk di Sandakan Tawau, itulah yang harus kita antisipasi jangan sampai masuk ke wilayah kita, meskipun populasi babi tidak terlalu banyak di wilayah kita jangan sampai ini masuk tentu akan merugikan kita (peternak) yang ada di Kalimantan Utara,” ungkap Kepala Balai Karantina Pertanian Tarakan, drh. Akhmad Alfaraby.

Menurutnya, tingkat kematian akibat virus ini sangat tinggi bisa 100 persen sehingga sangat berbahaya walaupun tidak berbahaya bagi manusia. Namun, nilai kerugian tentu bisa sangat luar biasa karena ternak babi mati secara mendadak dalam waktu yang sangat singkat.

“Di Sumatera pernah ada banyak yang mati, sangking banyaknya tidak bisa dibuang ke sungai, diharapkan ini tidak terjadi di wilayah kita, khususnya di perbatasan karena ada kasus itu ada di negara tetangga,” terang Akhmad Alfaraby.

Langkah pencegahan yang dilakukan oleh pihak Balai Karantina Pertanian Tarakan saat ini untuk wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kabupaten Nunukan tepatnya di Krayan, dengan berkoordinasi kepada Dinas Pertanian Nunukan, Bea Cukai dan Satgas Pamtas dari unsur TNI.

Diketahui, di Tawau Malaysia yakni di daerah Sandakan telah ditemukan babi yang diduga terinfeksi virus ASF. Sehingga langkah pencegahan diperlukan agar tidak masuk menyerang ternak babi di perbatasan utamanya Krayan dan wilayah lain di Kaltara.

“Koordinator sudah menyampaikan ke Dinas Pertanian soal ini, yang kita takutkan di Krayan karena ada peternak babi di sana walaupun populasinya tidak terlalu banyak, tidak seperti di NTT, Sumatera Utara, di sana sudah masuk (Malaysia),” jelasnya.

“Kita sudah melakukan koordinasi dengan Bea Cukai dan Satgas Pamtas, kita akan koordinasi dengan Dinas Pertanian Provinsi Kaltara supaya membuat surat ke semua dinas agar ada antisipasi dini kita menghadapi penyakit ini, dampaknya ke manusia itu dampak ekonominya,” lanjutnya.

Menurut Akhmad Alfaraby, lalat saja bisa menularkan virus babi tersebut. Fungsi karantina hanya pengawasan di tempat pemasukan dan keluar suatu wilayah, ini harus terkoordinir oleh pemerintah provinsi, membentuk tim kewaspadaan yang bergerak pada kesehatan hewan. Kemudian di setiap kabupaten juga mempunyai dokter hewan dan mantri hewan bisa membantu dalam pengawasan.

“Nanti kita libatkan semua, kalau bisa ada imbauan gubernur soal kewaspadaan penyakit ASF supaya tidak masuk ke daerah kita, itu melalui dinas pertanian provinsi,” ujarnya.

“Kalau dari pintu pemasukan dan pengeluaran resmi tidak terlalu kita takutkan, tapi yang kita khawatirkan jalur tidak resmi lewat darat ini. Ini bisa dibawa dari babi yang sakit ke babi yang sehat, yang bisa dibawa babi hutan, agak rawan virus ini dibawa babi hutan,” sambungnya.

Apabila sudah ada babi yang terinfeksi virus ASF maka langkah penanganan harus dipisahkan antara babi yang sehat dengan yang sakit. “Antisipasinya harus dipisahkan yang sehat dengan yang sakit, pengawasan dari karantina terus berjalan,” terangnya.

Mengetahui babi yang terinfeksi virus, harus dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan ambil sampelnya. Peternakan yang terinfeksi babinya oleh virus ini akak diisolasi dulu sampai steril dari virus babi, karena babi yang keluar bisa masuk ke daerah lain bisa menularkan lagi.

“Makanya yang kita lakukan isolasi dulu wilayah itu, bisa berdampak terhadap peternak, kalau ada yang infeksi kalau mau ekspor negara tujuan tidak mau menerima. Kalau setelah kita periksa itu benar ASF harusnya kita musnahkan sebelum menularkan ke tempat lain, menyebar ke mana-mana,” pungkasnya.

Sementara itu, Dokter Hewan Balai Karantina Pertanian (BKP) Tarakan, drh. Berlian Kusuma Dewi menuturkan saat ini lebih dari 20 genotype virus ASF telah diidentifikasi dengan yang terbanyak dari siklus babi liar yang ada di benua Afrika. Adapun gejala klinis untuk mengetahui babi terinfeksi virus babi ini diantaranya demam tinggi pada babi.

Kemudian kehilangan nafsu makan, muntah, diare, pendarahan pada kulit (sianosis) ini yang sering terlihat dan organ dalam, perubahan warna kulit menjadi ungu, abortus pada babi yang bunting bahkan ada juga yang menunjukkan radang sendi, dan akhirnya terjadi kematian, kematian bisa terjadi sebelum gejala klinis bisa diamati.

“Tingkat kematian yang sangat tinggi, belum ada bukti virus ASF bisa menginfeksi pada manusia dan belum ada antivirus atau vaksin untuk penyakit ini,” ungkap drh. Berlian.

Adapun metode penyebaran virus babi ini terbagi dua, yakni secara langsung dan tidak langsung. Untuk yang langsung kontak fisik antara babi yang terinfeksi dengan babi yang sehat, sedangkan penularan tidak langsung babi mengkonsumsi makanan dari sampah yang mengandung partikel virus ASF.

“Konsumsi sampah sisa makanan dikenal dengan istilah swill feeding itu makanan bekas yang diambil di sampah, gigitan caplak yang bertindak sebagai vektor biologis. Virus ASF dapat hidup dalam tubuh caplak lunak dari genus Ornithodoros, seperti O. Erraticus dan O. Moubata, kontak dengan benda mati yang membawa partikel virus, seperti pakan, sepatu dan kendaraan,” jelasnya.

Virus ini bisa bertahan di daging beku selama 105 hari, daging yang diasinkan 182 hari, daging kering 300 hari, daging asap 30 hari, daging beku 1.000 hari, jeroan 105 hari, kulit dan lemak 300 hari, feces pada suhu ruang 11 hari, darah yang disimpan pada suhu 4°C selama 18 bulan.

“Virus ini bisa membunuh babi dengan cepat sehingga berdampak pada peternak, kemudian bagi perdagangan babi yang sudah terinfeksi dengan ASF tentu akan sulit melakukan ekspor produk babi ke nagara lain, dan mengancam ketahanan pangan dan ini tentunya  di daerah yang  mengkonsumi babi atau produk babi,” ujarnya. (ram)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *