Dr. Syamsuddin Arfah, M.Si
SUDAH setahun pandemi covid 19 melanda dunia termasuk negeri kita, Ramadhan 1441 H yang lalu kita menjalankan ibadah di rumah dengan kebijakan pemerintah stay at home, sehingga ibadah tarawih dan lain-lain kita jalankan di rumah, seiring pandemi covid 19 sudah mulai melandai apalagi dengan vaksin yang dilakukan secara massif membuat kepercayaan diri kita mulai meningkat. Ramadhan 1442 H ini pemerintah sudah membolehkan untuk melaksanakan taraweh dan idul fitri di masjid tetapi tetap dengan protokol kesehatan yang ketat, tentu kita sambut hal ini dengan riang gembira.
Emang jika Ramadan datang, terlihat jelas semangat keberagamaan umat Islam. Kesadaran akan beribadah begitu tinggi dan pemandangan nampak berbeda dari bulan-bulan lainnya, masjid-masjid dan mushalla serta tempat ibadah “mendadak” ramai dan penuh untuk menunaikan shalat berjama’ah, salat subuh dihari biasa terasa kurang dan mungkin sepi, tetapi akan berbeda halnya jika di bulan Ramadan, orang-orang datang memenuhi masjid, walaupun terkadang kantuk dilawan, bahkan disaat dingin dan hujan tetap diterobos. sungguh menarik dan menyenangkan hati. Salat tarawih menjadi membeludak, dibeberapa masjid atau musalla harus memasang serobong atau membuka tenda untuk menampung jama’ah shalat, nuansa ruhiyah dan spiritual terasa kental.
Setidaknya ada satu hal penting yang perlu diperhatikan oleh kita sebagai umat islam untuk kembali mengulang kejayaan peradaban islam masa lalu, terlebih pada bulan Ramadhan ini. Yaitu kesadaran dalam berislam, bukankah setidaknya setiap hari minimal tujuh belas kali kita meminta kepada Allah untuk di tunjukan kepada jalan lurus nya dan diberi nikmat berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah seperti orang-orang terdahulu?. Kemudian Allah memberikan jawaban itu dengan sangat jelas yang kemudian hingga saat ini banyak tafsir atas ayat-ayat yang di turunkan Nya. Kesadaran akan berislam ini perlulah ada, dan haruslah tumbuh subur layak nya analogi pohon pada kalimat thoyyibah (kalimat yang baik), akarnya yang kokoh, kemudian tinggi menjulang ke langit (memberikan keteduhan bagi yang dibawah nya) dan buah nya memberikan manfaat bagi mahluk hidup lain.
Kemudian korelasi dengan bulan Ramadan itu sendiri, adalah dimana adanya kewajiban bagi setiap muslim untuk menjalankan puasa agar dapat bertakwa (QS: Al-Baqarah: 183). Takwa ini menjadi salah satu dari banyak hikmah yang Allah berikan kepada umat muslim, sehingga takwa dapat menjadi sebaik-baik bekal dalam menjalani hidup di dunia, pun bekal menuju alam akhirat kelak. Sehingga apabila kesadaran dalam berislam ini telah sampai pada puncak ketakwaan sejati kepada Allah SWT semata, dengan semurni-murninya islam, iman dan ihsan, umat ini akan otomatis berhimpun menjadi satu kesatuan raksasa yang kemudian mampu untuk kembali mengulang kejayaan nya.
Tentu semangat keberagaman ini harapannya terus berkelanjutan dan tetap stabil, dan tidak hanya berlaku pada awal Ramadan saja, atau di sepuluh hari pertama di bulan Ramadan. Jika komitmen untuk menjaga semangat keberagamaan ini terus menerus, maka esensi dan substansi dari nilai ibadah Ramadan di pahami baik oleh kaum muslimin secara kolektif. Jika tidak, dengan arti hanya ikut semangat meramaikan ibadah Ramadan ini hanya di awal-awal puasa saja, maka sesungguhnya ibadah hanya terkesan seremoni, mengikuti cara dan gaya dari kebanyakan orang. Tanpa mengejar arti dan kualitas ibadah Ramadan. seakan menjadi style dan model yang hanya terlihat mungkin di sepuluh hari pertama di bulan Ramadan, perlahan tapi pasti semangat keberagamaan, serta kesadaran beribadah yang pada awalnya terlihat naik dan meningkat “tidak bertahan lama” seiring dengan bertambahnya hari di bulan Ramadan, masjid-masjid yang mulanya begitu ramai membludak mulai terlihat longgar dan agak lowong, padahal Rasulullah saw mencontohkan cara menyikapi Ramadan dengan mengencangkan ikat pinggangnya dan meningkatkan intensitas ibadahnya jika memasuki sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan, sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah ia berkata : adalah Rasulullah saw, apabila masuk (tanggal) sepuluh, ya’ni sepuluh yang akhir dari Ramadan, ia kencangkan ikat pinggangnya ia hidupkan malamnya dan ia bangunkan keluarganya. (Bukhari – Muslim).
Ungkapan Syekh Yusuf Qordawy patut untuk menjadi renungan buat kita : “Ciri khusus kebangkitan umat kontemporer adalah sebuah kebangkitan yang tidak saja bermodalkan semangat. Apalagi hanya ungkapan verbal dan slogan semata”.
Ibadah Ramadan jangan dijadikan seremoni ritual belaka, atau hanya terjebak pada tradisi tahunan yang hanya ramai diawalnya saja tanpa memahami ma’na yang terkandung di dalamnya, atau barangkali kita memang senang dengan sesuatu yang bersifat ceremony, lebih senang kuantitas daripada yang bersifat kualitas, lebih senang kulit daripada isi, lebih suka menilai dari sisi permukaannya, tentu akan banyak pertanyaan yang akan diajukan penulis, tapi apalah artinya pertanyaan yang jadinya hanya rangkaian kata-kata, jika kata itu tidak mengandung ma’na.
Ungkapan sabda Rasulullah SAW, patut menjadi perhatian kita: “Hampir tiba masanya kalian di perebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya. “Maka seseorang bertanya: “Apakah karena sedikitnya jumlah kita?” “Bahan kalian banyak, namun kalian seperti buih mengapung di lautan”. Dan Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh kalian. Dan Allah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahan itu?” Nabi SAW bersabda: “Cinta dunia dan takut akan kematian”. (HR: Abu Dawud).
Ada beberapa pelajaran penting yang dapat kita Tarik dari hadist ini:
Pertama, Nabi SAW memprediksi bahwa akan tiba suatu masa dimana orang-orang beriman akan menjadi kumpulan manusia yang menjadi rebutan umat lainnya. Mereka akan mengalami keadaan yang sedemikian memprihatinkan sehingga diumpamakan seperti porsi makanan yang diperebutkan oleh sekumpulan pemangsa. Artinya, pada masa itu kaum muslimin menjadi bulan-bulanan kaum lainnya. Hal ini karena mereka tidak memiliki kemuliaan sebagimana di masa lalu. Mereka telah diliputi kehinaan.
Kedua, pada masa itu umat islam tertipu dengan banyaknya jumlah mereka padahal tidak bermutu. Sahabat menyangka bahwa keadaan hina yang mereka alami di sebabkan jumlah mereka yang sedikit, lalu Nabi SAW menyangkal dengan mengatakan bahwa jumlah muslimin pada waktu itu banyak, namun kualitas rendah. Hal ini juga berarti bahwa pada masa itu umat islam memperhatikan kuantitas tetapi lalai memperhatikan kualitas. Yang penting punya banyak pendukung alias konstituen tanpa mau peduli dengan kualitas konstituen nya. Mereka menggunakan prinsip The majority rules (mayoritaslah yang berkuasa).
Ketiga, Rasa gentar dan takut hilang di dada musuh umat islam yang disebabkan cinta dunia dan takut mati. Para pemimpin negeri dan penguasa tidak menghiraukan jeritan silent majority. Karena umat islam di anggap tidak memiliki kualitas, laksana buih yang mengapung, banyak dan mayoritas tapi tidak menentukan.
Statement Khalid bin Walid patut untuk dijadikan analisa ketika berlangsungnya perang Yarmurk: “Tidak ada sejarahnya, perang di menangkan semata-mata karena banyak nya jumlah. Tapi kemenangan itu karena mereka beriman kepada yang memerintahkannya, lurusnya niat, strategi untuk menang, dan persiapan”. Khalid sang panglima juga mengatakan: “Jumlah pasukan musuh sekitar 240.000 orang. Sedangkan jumlah pasukan kaum muslimin total 46.000 orang”. Lalu Khalid membacakan firman Allah: “Betapa banyak terjadi golongan yang sedikit mampu mengalahkan golongan yang banyak karena izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS: Al-Baqarah: 249), setelah itu pasukan umat islam mampu memenangi perang yarmurk dibawah komando panglima Khalid bin Walid.
Tiga rahasia Erdogan untuk memakmurkan Turki, patut juga untuk kita teliti: 1. Memulai dengan gerakan shalat subuh berjamaah. 2. Gerakan infak dan shodaqah dan 3. Gerakan ekonomi umat. Tentu spirit ini harus kita ambil, semangat Erdogan dalam memajukan dan memakmurkan Turki, harus juga menjadi inspirasi untuk umat Islam Indonesia, dan tidak terkecuali kita juga yang berada di Kota Tarakan.
Semangat beribadah di bulan Ramadhan dengan hadiah “takwa” yang di berikan Allah, bukan hanya semata-mata pada menjalankan ibadah puasa tetapi juga merupakan rangkaian dan kumpulan dari berbagai ibadah yang ada di bulan Ramadan yaitu seperti, shalat taraweh, menjaga shalat jama’ah di masjid, menunaikan shalat sunnah, tilawah al-Qur’an, dzikir, zakat, infaq dan shadaqah, memperbanyak melakukan kebaikan dan lain lain. Sesungguhnya esensi ibadah Ramadan bagi orang yang beriman terletak pada kesungguhan (jiddiyah), komitmen (itizam), konsisten (istiqamah), keberlanjutan (istimrariyah). Jika hal itu tidak ada pada ibadah Ramadan maka kita akan kehilangan esensi, kehilangan kualitas, kehilangan isi dari ibadah yang di kerjakan. Jika ibadah kehilangan esensi, maka kualitas tidak akan tercapai dan sudah bisa dipastikan ibadah akan kehilangan isi. Jika itu terjadi akan sulit bagi kita untuk mencapai hadiah dari Allah berupa predikat “takwa”.
Firman Allah SWT patut untuk menjadi renungan di akhir tulisan ini: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (Al-A’raf : 96). Ma’na berkah pada ayat ini menurut ahli tafsir adalah “bertambahnya kebaikan” diberikannya kesejahteraan dan kemakmuran serta kepastian hukum sehingga manusia merasakan aman, nyaman dan, ending akhirnya adalah kesejahteraan dan kebahagiaan. Allahu A’lamu bis-shawab.(*)