Indef Nilai Pemerintah Perlu Lockdown Akhir Pekan

JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) merekomendasikan agar pemerintah memberlakukan lockdown akhir pekan. Hal ini bertujuan untuk menekan peningkatan Covid-19.

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan, wacana kebijakan lockdown akhir pekan dapat di uji sebagai alternatif kebijakan untuk menekan risiko penularan tanpa merelakan kinerja sektor industri dan bisnis di hari kerja.

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
1927 votes

“Lockdown akhir pekan perlu di lakukan, meskipun kebijakan ini tidak seefektif lockdown total karena tidak melewati masa inkubasi 7-14 hari,” ungkap Tauhid dalam diskusi virtual bertajuk Covid-19 Meningkat, Ekonomi Melambat, Ahad (07/02/2021).

Alumni Program Doktoral Institute Pertanian Bogor ini membeberkan, Kebijakan ini memiliki kelemahan jika dilakukan dalam satu triwulan maka akan terjadi penurunan 5-7 persen dengan konsekuensi ongkos yang perlu dibayar seperti penurunan kinerja pertumbuhan di sektor penyediaan akomodasi dan makan minum serta sektor transportasi dan pergudangan.

Tentunya pengetatan aktivitas ini, lanjutnya, masih dengan catatan bahwa distribusi barang dan logistik tetap berjalan. Tidak hanya itu, untuk mengendalikan pandemi syarat 3T

(testing, tracing, treatment) dilakukan secara masif dan sesuai prosedural epidemologis ketika kebijakan tersebut dilakukan.

Terakhir, ia pun menyoroti tidak efektifnya program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Hal ini di karenakan penyerapan anggaran PEN tidak di serap dengan baik dan dampak berjalannya program ini belum terlalu di rasakan masyarakat.

Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020 ditutup dengan realisasi sebesar Rp 579,78 triliun atau 83,34 persen dari target sebesar Rp 695,2 triliun. Meski program PEN ini sangat besar realisasinya pada triwulan terakhir namun tampaknya tidak bisa menjadi pendorong lebih besar pemulihan ekonomi nasional pada triwulan terakhir.

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan, hal ini dilihat dari beberapa aspek, bantuan sosial yang diberikan yang secara total sebesar Rp 220,39 triliun, khususnya melalui program sembako dan non sembako tidak mendorong konsumsi makanan dan minuman tetap terjaga.

Bahkan Konsumsi makanan dan minuman, selain restoran yang sebesar -1,39 persen (yoy) pada triwulan 4.

“Ketidaktepatan sasaran, mekanisme yang tidak efektif hingga nilai bantuan yang kecil menyebabkan kopmleksitas masalah sehingga program ini tidak bisadiharapkan lagi apabila tidak ada perubahan mendasar,” tutupnya.(*)

 

Reporter: Reza Munandar

Editor: M. Yanudin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *