Pariwisata Kaltara : Gandeng Influencer, Efektifkah?

Oleh: Indah Junidar

(Student at Paramadina Graduate School of Communication)

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
1592 votes

 

SEBAGAI aktor baru di dunia digital, influencer seringkali dianggap tokoh yang potensial dalam mengampanyekan berbagai program dan kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Influencer sendiri kerap diasosiasikan sebagai sosok personal ataupun kelompok yang memiliki banyak pengikut (followers). Mereka mampu menjadi aset social relationship (hubungan sosial) yang dapat diajak berkolaborasi untuk mencapai tujuan tertentu.

Seorang influencer memiliki daya pikat dalam akun media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, YouTube dan Tiktok dengan jumlah pengikut rata-rata di atas 10.000 orang. Tak dipungkiri, setiap referensi mereka selalu di copy-paste. Unggahannya mampu menjadi magnet bagi publik, konten mereka disukai, acuannya gampang dipercaya, dan ajakannya bisa menghipnotis dengan pesan-pesan penuh sugesti.

Melihat rencana Dinas Pariwisata Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) yang akan melibatkan influencer untuk ikut memromosikan destinasi daerah, tentu merupakan terobosan baru yang patut diapresiasi. Mengutip dari laman humas.kaltaraprov.go.id, tren jumlah kunjungan wisata mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Kaltara dari 2019-2020 menurun sebanyak 160.365 kunjungan. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltarasecara akumulatif mencatat, pada periode Januari hingga November 2019 terdapat kunjungan wisman mencapai 527.210 pengunjung. Namun, pada 2020, jumlah kunjungan menurun, hanya di angka 366.845 kunjungan selama Januari hingga November.

Sebagai informasi, iInfluencer telah dilibatkan sejak era Arief Yahya duduk sebagai Menteri Pariwisata dalam kabinet kerja Presiden Jokowi-JK. Saat itu, 70 persen dari anggaran promosi Kemenpar digunakan untuk keperluan promosi digital, termasuk promosi berbayar menggunakan jasainfluencer. Tercatat pada 2018, Kemenpar mengalokasikan dana sebesar Rp 2,5 triliun untuk keperluan promosi pariwisata, baik di dalam maupun luarnegeri.

Pemasaran menggunakan media dan influencer juga dilakukan dengan mengadakan program famtrip (family trip)dengan mengundang influencer mancanegara datang ke Indonesia. Ini sejalan dengan upaya promosi oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparkraf RI) melalui pendekatan POSE (Paid Media, Own Media, Social Media, Endorser). Strategi ini berarti cocok bagi Influencer, menjadi seorang endorser yang mengemas sosial medianya sebagai kebutuhan Dinas Pariwisata Kaltara.

Standarisasi Pemilihan Influencer

Tak cukup soal ketenaran, seorang influencer diharapkan mampu memberi warna sekaligus kekuatan untuk memengaruhi opini publik. Untuk itu pertimbangan perlu dilakukan, salah satunya ialah track record atau reputasi influencer di bidang pariwisata. Dalam laman sosial medianya telah terpantau sering mengampanyekan pariwisata, baik dalam foto maupun video. Bukan ujug-ujug asal tunjuk.

Seorang influencer juga harus cakap dalam menginformasikan detail destinasi. Mulai dari letak geografis, akses menuju lokasi, transportasi menuju tempat yang dimaksud, penginapan, makanan tradisonal, pusat kerajinan dan oleh-oleh, keadaan masyarakat sekitar, serta value lainnya yang bermanfaat bagi calon pengunjung. Selanjutnya, kampanye yang ditebar menguatkan nilai-nilai lokalitas dengan tagar yang telah melekat yakni #kaltaraterdepan. Tak lupa menggaungkan kekuatan branding “Wonderful Indonesia” agar pariwisata Kaltara lebih dikenal dunia.

Penting untuk diperhatikan, perlu dilakukan seleksi ketat dalam penunjukan influencer. Mengingat, tak semua influencer memiliki kapabilitas dan kapasitas yang mumpuni untuk menyuarakan potensi wisata Kaltara. Lantas apa yang menjadi standar pemerintah dalam memilih influencer? Apakah berdasarkan jumlah pengikut, interaksi engagement, atau mungkin saja soal harga yang masih bisa atur damai nantinya?

Rentan Celah Korupsi

Dalam praktiknya, jika ditinjau dari segi cost and benefit, akan sukar memantau dan mengevaluasi program kebijakan tersebut.Transparansi dan akuntabilitasnya dipertanyakan. Bagaimana pembelanjaannya? Mungkinkah nilai kontraknya akan tertuang dalam LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) secara terbuka? Hal ini perlu diketahui, karena dana yang digunakan untuk membayar influencer merupakan uang negara. Jangan sampai ada suara sumbang bermunculan dan menganggap porsi influencer hanya mengakibatkan pemboroskan anggaran.

Tak hanya itu, influencer belum dianggap sebagai suatu profesi resmi untuk melakukan komunikasi publik karena kerja influencer dinilai belum memiliki kode etik dan dasar aturan hukum. Lantaran pesan-pesannya berada di ranah publik dan bekerjasama dengan pemerintah, transparansi tentu dibutuhkan dalam anggaran yang digelontorkan. Agar tidak membuka peluang terjadinya korupsi dan penyalahgunaan lainnya. Hal ini penting untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Tentu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tak tinggal diam dan bakal menyoroti dana yang dikucurkan pemerintah untuk para influencer di media sosial.

Kampanye dan Konten

Dalam Buku Enhyclopedia of Theory Communication milik dari Stephen W Littlejohn dan Karen A Foss (2009), dijelaskan dalam Communication Campaign Theory jika suatu kampanye lebih cenderung berhasil jika sudah terjadi perubahan sikap dan perilaku publik yang dituju. Kampanye yang berkualitas membutuhkan kreatifitas tinggi, dengan memaksimalkan pemahaman audiens, isi pesan dan strategi evaluasi. Melalui teori ini, dengan kata lain, Dinas Pariwisata Kaltara melalui proses kampanye pariwisata bertujuan meningkatkan peningkatan jumlah wisatawan dengan perlu memerhatikan tiga fase utama kampanye yaitu perencanaan, implementasi, dan evaluasi.

Strategi promosi pariwisata saat ini akan banyak dilakukan melalui pemanfaatan media sosial melalui kekuatan konten tertentu. Dalam buku the Marketplace of Attention: How Audience Take Shape in a Digital Age milik James G. Webster (2014), ada tiga hal yang jelas tentang lingkungan digital. Pertama konten,kedua media,ketiga total perhatian manusia akan ketersediaan tontonan yang tidak terbatas. Ini menjadikan tantangan bagaimana audiens bisa tertarik dengan konten yang diciptakan influencer.

Sejatinya, pemerintah merupakan influencer atau teladan bagi masyarakatnya. Jadi, apakah perlu menggelontorkan dana untuk membayar jasa influencer media sosial yang kapabilitas dan kapasitasnya masih dipertanyakan. Jika cara ini betul-betul dilakukan pemerintah, jangan sampai malah pemerintah kehilangan self confidence-nya dan menjadi addicted menggunakan jasa influencer. Bisa-bisa masyarakat lebih percaya informasi dari influencer media sosial daripada pemerintah itu sendiri.(*)

 

REFERENSI

– Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2009). Encyclopedia of communication theory (Vol. 1). Sage.

– Webster, J. G. (2014). The marketplace of attention: How audiences take shape in a digital age. Mit Press.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar

  1. Terimakasih atas opininya Mbak. Akan kami jadikan pertimbangan untuk didiskusikan