NUNUKAN – Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Provinsi Kalimantan Utara melaksanakan Workshop pencegahan perkawinan usia dini di Kabupaten Nunukan, bersama Dinas P3AP2KB Kabupaten Nunukan, serta kelompok kerja pencegahan dan penanganan KtPA di satuan pendidikan.
Di masa pandemi ini, pernikahan dini melonjak. Beberapa hal menjadi penyebab yakni adalah dampak dari kurangnya aktivitas, kemiskinan, meningkatkan status sosial, tradisi dan budaya, sehingga keluarga perempuan harus menerima jika ada yang melamar putrinya. Juga faktor kurangnya pendidikan, kehamilan di luar nikah, karena tidak memahami risiko pergaulan bebas.
Dalam pidatonya Pjs. Gubernur Kalimantan Utara yang sampaikan Asisten Administrasi Umum Setkab Nunukan, Muhammad Amin, SH, perkawinan anak di usia dini merupakan posisi rentan bagi anak, khususnya perempuan untuk mendapat kekerasan.
“Perkawinan di usia anak mengalami peningkatan hampir setiap tahunnya. Dengan berbagai kondisi, usia kawin anak merupakan posisi rentan bagi anak, khususnya perempuan untuk mendapatkan kekerasan, baik secara psikis, ekonomi, fisik, dan seksual,” kata Amin, Jumat (27/11/2020).
Lebih lanjut dalam pidatonya dikatakan, di Kalimantan Utara organisasi yang fokus terhadap perempuan dan anak kesulitan untuk mendata perkawinan anak yang tidak tercatat di Kemenag. Hal ini disebabkan karena banyaknya pihak keluarga yang menutup-nutupi dengan alasan menjaga nama baik keluarga.
Perlindungan terhadap perempuan dan memberikan rasa aman dalam pemenuhan hak-haknya dapat memberikan perhatian yang konsisten dan sistematis yang ditujukan untuk mencapai kesetaraan gender. Sedangkan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin perlindungan terhadap anak dan hak-haknya.
“Isu gender dan anak merupakan masalah utama dalam pembangunan, khususnya pembangunan sumberdaya manusia. Walaupun sudah banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak, namun data menunjukkan masih adanya kesenjangan dalam hal akses, partisipasi, manfaat, serta penguasaan terhadap sumberdaya seperti pada bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi,” jelasnya.
Sementara itu, Fanny Sumajow, S.Psi, Psikolog Profesi Palkolog Universitas Wisnuwardhana Malang sebagai narasumber dalam kegiatan ini menyampaikan, dalam pandangan kesehatan, anak perempuan yang kawin pada usia muda berpotensi mengalami kehamilan berisiko tinggi.
“Anak perempuan yang kawin di usia muda memiliki ancaman kesehatan mental serta seringkali mengalami stres ketika meninggalkan keluarganya dan harus mulai bertanggung jawab atas keluarganya sendiri. Bahkan dampak buruk yang harus mereka terima pada perkawinan anak tersebut anak rentan mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT),” ujarnya.
Dampak psikologis juga ditemukan. Di mana pasangan secara mental belum siap menghadapi perubahan peran dan menghadapi masalah rumah tangga, sehingga seringkali menimbulkan penyesalan akan kehilangan masa sekolah dan remaja.
“Ketidaksiapan antara pasangan tersebut menjadi latar belakang rentan akan kekerasan yang dialami oleh perempuan maupun laki-laki dalam rumah tangga. Selain itu dapat pula menimbulkan trauma yang berkepanjangan jika terjadi perpisahan atau berakhirnya masa pernikahan mereka,” katanya.
Pada tahun 1989, pemerintah di seluruh dunia menjanjikan hak yang sama untuk semua anak dengan mengadopsi Konvensi PBB untuk hak-hak anak. Konvensi ini mengatur hal apa saja yang harus dilakukan negara agar setiap anak dapat tumbuh sesehat mungkin, bersekolah, dilindungi, didengar pendapatnya, dan diperlakukan dengan adil.
“Salah satu upaya untuk menjalankan amanah tersebut adalah dengan melakukan upaya pencegahan secara masif serta dilakukan oleh seluruh pihak agar tidak terjadi perkawinan anak,” imbuhnya. (*)
Reporter: Darmawan
Editor: M. Yanudin