UU Cipta Kerja, Kontroversi dan Perlawanan

Oleh: Ade Prasetia Cahyadi

(Mahasiswa Kaltara yang Menempuh Pascasarjana Sosiologi di UGM)

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
1235 votes

 

DARI rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pengertian paling populer dari demokrasi yang seringkali dilontarkan para politisi. Masalahnya adalah siapa rakyat itu tidak pernah terdefinisikan, rakyat yang dimaksud bisa saja ditujukan untuk kaum menengah ke bawah ataupun kelas menengah ke atas. Pengesahan UU Cipta Kerja, barangkali menjadi pertanda bahwa demokrasi di negeri ini sedang mengalami kedaruratan. Aktor-aktor politik gagal menjadi jawaban dari tuntutan mayoritas masyarakat.

Setelah disahkannya RUU Cipta Kerja, hal ini kemudian menimbulkan sorotan tajam dan banyaknya komentar negatif. Bahkan, berbagai penolakan mulai menyeruak, mulai dari petisi hingga unjuk rasa. Tindakan itu bukan tanpa alasan, UU tersebut dinilai hanya menguntungkan beberapa pihak saja (terkhusus untuk investor, pengusaha, dan dunia bisnis) yang notabene adalah golongan ekonomi ke atas. Pengesahannya pun dikebut DPR dan pemerintah. Hingga pada akhirnya disahkan menjadi UU oleh DPR dalam rapat paripurna pada Senin 5 Oktober 2020 lalu

Di tengah penolakan tersebut pemerintah kekeh untuk tetap mengesahkan RUU Cipta Kerja. Melihat hal tersebut menarik untuk membahas lebih jauh bagaimana kontroversi dan perlawanan terhadap UU Cipta Kerja. Lebih jauh, benarkah RUU Cipta Kerja menjadi bukti bahwa keberpihakan negara kepada investor dan pembisnis ?

Kontroversi di balik Pengesahan RUU Cipta Kerja

Setidaknya, ada tiga kontroversi di balik pengesahan Omnibus Law- RUU Cipta Kerja. Pertama, urgensi dari UU Cipta kerja. Lebih lanjut, UU tersebut pada dasarnya berangkat dari sulitnya melakukan investasi di Indonesia. Pemerintah menganggap dengan hadirnya UU Cipta kerja maka akan memudahkan segala regulasi yang terbelit-belit. Namun, Apakah regulasi yang paling utama dalam hal penyebab menghambatnya investasi dan bisnis?

Ternyata tidak demikian. Menurut riset World Economic Forum (2017) menunjukkan bahwa justru korupsi merupakan kendala utama yang menghambat datangnya investor, disusul oleh inefisiensi birokasi, akses keuangan, infrastruktur yang tidak memadai serta instabilitas pemerintahan. Lalu, apakah dalam draft Omnibus Law RUU Cipta Kerja disebutkan untuk memberantas korupsi? Ternyata Tidak. Bahkan, yang ada Indonesia mengalami kemunduran yang nyata melalui UU 19/2019 tentang perubahan atas UU 30 tahun 2002 yang melemahkan KPK.

Patut untuk mempertanyakannya kembali, korupsi yang justru menjadi kendala utama dalam menghambat masuknya investor malahan tidak menjadi prioritas. Pemerintah justru menjadikan regulasi sebagai cara kilat. Ada kemungkinan hal itu dilakukan sebagai bentuk keresahan negara dengan kondisi pertumbuhan ekonomi yang terus stagnan serta sulit untuk keluar dari jebakan berpendapatan menengah (Middle Income Trap). Sehingga Omnibus Law -RUU Cipta Kerja dijadikan salah satu bentuk upaya untuk meningkatkan investasi, dan diharapkan nantinya mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang kemudian berpengaruh terhadap peningkatan suatu pertumbuhan ekonomi

Kedua, kesimpangsiuran draf final UU Cipta Kerja. Beberapa kali UU tersebut harus mengalami beberapa revisi dengan berbagai alasan. Draf yang disahkan pada 5 Oktober lalu sebanyak 905 halaman. Enam hari setelah disahkan, beredar 3 naskah berbeda: versi 1.028 halaman; 1052 halaman, dan versi 905 halaman. Tebaru, draf kini hanya berjumlah 812 halaman . Menyikapi hal tersebut, DPR malahan menjawab hal itu wajar karena UU Cipta Kerja masih dalam proses penyempurnaan.

Ketiga, lingkaran pembisnis di dalam elit DPR. Berdasarkan penelusuran Tempo dan Auriga Nusantara (2020) menemukan setidaknya 262 nama anggota DPR berlatar belakang pengusaha. Mereka tercatat memiliki saham, menjabat komisaris, hingga menduduki kursi direksi di lebih dari seribu perusahaan. Selain itu, temuan dari Marepus Corner (2020) mengungkapkan bahwa total pembisnis di anggota DPR 2019-2024 sebanyak 318 orang atau 5-6 orang dari 10 anggota DPR ialah Pebisnis. Dengan total persentase 55% pembisnis dan 45 % non pembisnis. Melihat banyaknya jumlah pembisnis di anggota DPR, maka menimbulkan kecurigaan bahwa ada konflik kepentingan lain di balik pengesahan UU Cipta Kerja.

Gelombang Pelawanan : Lampu Merah Untuk Pemerintah?

Berbagai gerakan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja mulai dari petisi hingga demostrasi tidak lagi diinisiasi oleh kelompok buruh semata, berbagai gerakan yang hadir, diiniasi oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari kalangan akademisi, mahasiswa, dan sebagainya. Bentuk penolakan pun beragam, ada yang berupa petisi, menolak/meminta revisi hingga demontrasi. Alasanya sama yakni mereka mendesak Jokowi  membatalkan UU tersebut.

Bentuk Perlawanan terhadap UU Cipta kerja dilakukan (Aspek) Indonesia. Di lansir dari Cnn Indonesia (2020) Asosiasi Serikat Pekerja telah menyiapkan beberapa langkah yang akan ditempuh setelah Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker) disahkan. Pertama, mogok kerja. Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat mengatakan mogok akan dilakukan buruh secara nasional

Kedua, melakukan negosiasi ulang dengan pemerintah. Buruh berharap pemerintah masih punya hati untuk meninjau kembali aspirasi dari kaum pekerja terkait poin-poin yang sudah terlanjur ada di RUU Ciptaker. Ketiga, asosiasi juga akan menggerakkan sinergi buruh hingga ke level internasional agar bisa mendesak pemerintah. Keempat, yang menjadi langkah pamungkas buruh adalah menggugat UU Cipta Kerja ke MK. Mirah bilang saat ini berbagai landasan hukum yang bisa digunakan untuk menggugat RUU Ciptaker sedang dipelajari dan dipersiapkan.

Penolakan juga disampaikan oleh akademisi dari 67 perguruan tinggi berbeda. Mereka terdiri dari guru besar, dekan, hingga dosen. Sikap akademisi itu disampaikan oleh perwakilan Guru Besar Hukum UGM Eddy Hiariej, Maria Sri Wulan Sumardjono, Zainal Arifin Mochtar dan Guru Besar Hukum Unpad Susi Dwi Harijanti. Sejalan dengan itu, berbagai ormas islam seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah kompak untuk menolak dan meminta untuk merevisi pasal-pasal yang bermasalah di dalam RUU Cipta Kerja.

Beragam tindakan perlawanan terhadap UU Cipta kerja tersebut seakan memberikan lampu merah untuk pemerintah yang sedang berkuasa saat ini. Hal ini berkaitan dengan ketidakpercayaan serta kekecewaan masyarakat terdahap pemerintah. Lebih jauh, gerakan-gerakan tersebut bisa saja menggulingkan pemerintah jika gerakan-gerakan tersebut semakin meluas dan tak kunjung dikabulkan. Melihat berbagai respons dari masyarakat di Indonesia, patut untuk dinanti apa yang akan terjadi ke depan, skema apa yang akan dilakukan pemerintah untuk meredam berbagai bentuk perlawanan terhadap UU Cipta Kerja.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *