Kekerasan Anak di Masa Pandemi Meningkat, Kemen PPPA Sosialisasikan Protokol Perlindungan Anak

JAKARTA – Pada awal Mei 2020, pemerintah telah meluncurkan protokol perlindungan anak lintas sektor dalam percepatan penanganan, sekaligus mengoptimalkan mencegah penularan Covid-19 khususnya terhadap anak sebagai kelompok rentan. Hal ini bertujuan agar anak tetap terlindungi dan terpenuhi hak-haknya di masa pandemi.

Dalam Webinar Sosialisasi Protokol Lintas Sektor untuk Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus dalam Situasi Pandemi Covid-19 Wilayah Sulawesi, NTB, dan Papua. Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (Kemen PPPA-RI), Nahar menyampaikan, protokol lintas sektor ini menjadi bahan rekomendasi pedoman kepada Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Pusat, dan daerah terkait. Sebagai upaya perlindungan hak anak dalam berbagai kebijakan dan kegiatan penanganan covid-19 serta sudah dipublikasikan di website Covid-19.go.id.

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
1586 votes

“Hingga hari ini, sosialisasi sudah kami lakukan di 34 provinsi. Anak merupakan kelompok rentan dalam masa pandemi. Banyak diantaranya yang butuh perlindungan khusus, seperti anak dalam kemiskinan, anak di lembaga pengasuhan, anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), dan lain-lain. Kami harap melalui pertemuan ini, kita bisa saling menginformasikan dan mencari jalan keluar terkait persoalan dalam perlindungan anak dan pemenuhan hak anak,” ujar Nahar, Rabu (24/6/2020).

Nahar menuturkan, bahwa kondisi rumah tangga juga rentan di masa pandemi ini. Hal ini disebabkan lantaran banyak anggota keluarga yang harus tinggal di rumah dalam waktu lama. Belum lagi masalah ekonomi akibat kehilangan penghasilan dan persoalan lainnya.

“Untuk itu, ada 6 intervensi terhadap rumah tangga rentan yang penting untuk dilakukan. Meliputi petakan sumber daya, perkuat layanan inti, memperluas pengasuhan alternatif, mencegah stigma dan diskriminasi, dukungan psikososial, dan menangani kekerasan dalam rumah tangga,” tuturnya.

Baca Juga :  Marak PMI Kabur Gaji Tak Sesuai, Faktanya Memang Tak Prosedur

Sementara itu, Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Valentina Gintings juga menyoroti maraknya kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi selama pandemi. Sebab, berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), pada 1 Januari hingga 19 Juni 2020. Setidaknya telah terjadi 3.087 kasus kekerasa terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual, dan menurutnya angka ini tergolong tinggi.

“Oleh karena itu dalam menghadapi new normal ini, kita harus pastikan angka ini tidak bertambah lagi dengan melakukan upaya pencegahan yang mengacu pada protokol penanganan anak korban kekerasan dalam situasi pandemi Covid-19,” terang Valentina.

Ia juga menjelaskan, Kemen PPPA juga telah berupaya untuk mencegah penularan paparan penyakit yang menyerang fungsi pernafasan ini melalui menyebarluaskan materi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) terkait perlindungan anak dari bahaya paparan Covid-19. Dengan cara mengarahkan dinas PPPA Provinsi dan Kabupaten dan Kota untuk memanfaatkan sarana 386 Mobil Perlindungan Perempuan dan Anak (Molin) di 34 provinsi sebagai sarana edukasi pencegahan.

“Serta sebagai media untuk menyosialisasikan pencegahan agar anak tak terpapar virus tersebut, dan memastikan koordinasi dengan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten atau Kota dapat dilakukan lebih intens lagi,” jelas Valentina.

Terkait upaya penanganan anak terpapar Covid-19, Kemen PPPA membentuk Layanan Psikologi Sehat Jiwa (SEJIWA) 119 ext 8 bagi perempuan dan anak yang membutuhkan layanan edukasi, konsultasi, dan pendampingan. Hingga 15 Juni 2020, telah masuk 8.842 aduan ke layanan ini. Mayoritas aduan disampaikan para perempuan yang memerlukan layanan pendampingan anak atau perempuan korban kekerasan.

Baca Juga :  Dampak Psikologis saat Gerhana

Untuk menindaklanjuti banyaknya aduan yang masuk, Kemen PPPA akan mengaktifkan kembali Telepon Sahabat Anak (TESA) 129. Layanan ini akan terbagi menjadi 2 ext. khusus untuk memberikan pelayanan bagi perempuan dan anak, serta terhubung ke seluruh provinsi. Selain itu, terkait upaya penanganan lainnya, Kemen PPPA juga memberikan pemenuhan kebutuhan spesifik untuk anak rentan.

Di samping itu, Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi, Ciput Eka Purwanti mengungkapkan Sulawesi Selatan, Papua, dan NTB masuk ke dalam 10 (sepuluh) besar provinsi dengan jumlah anak terinfeksi dan dinyatakan positif Covid-19 tertinggi.

“Kami harap kondisi ini bisa menjadi perhatian Dinas PPPA, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan lainnya untuk mulai melakukan asesmen kerentanan keluarga penduduk dengan status ODP dan PDP serta melakukan pendataan sesuai protokol perlindungan anak, yang tentunya dengan menjamin kerahasiaan informasi anak” ungkap Ciput.

Ciput menekankan pentingnya sinergi dan koordinasi tim dalam menangani masalah ini, terutama terkait pengumpulan data, bagaimana memetakan kondisi keluarga dan anak. Pentingnya peran berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga masyarakat, hingga media massa dalam mengawal masalah ini. Ada code of conduct bekerja dengan anak yang harus dipatuhi, yaitu menjaga kerahasiaan data anak.

Kepala Sub Direktorat Pendidikan dan Pengentasan Anak, Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, Kemenkumham, Tuti Nurhayati mengungkapkan Kementerian Hukum dan HAM telah memberikan asimilasi di rumah dan integrasi kepada 39.420 narapidana dan anak di seluruh Indonesia (Data SDP DITJENPAS, 14 Mei 2020). Sedangkan sebanyak 992 anak di LPKA, Lapas, dan Rutan telah mendapat asimilasi rumah dan integrasi per 15 Juni 2020. Angka tersebut meliputi 940 anak mendapat asimilasi rumah, 18 anak mendapatkan pembebasan bersyarat (PB), 25 anak mendapatkan cuti bersyarat (CB), 9 anak mendapatkan cuti menjelang bebas (CMB) (Sumber data : SMS lap dan datin Ditjenpas).

Baca Juga :  Marak PMI Kabur Gaji Tak Sesuai, Faktanya Memang Tak Prosedur

“Sangatlah penting jika semua pihak, baik di lintas kementerian maupun masyarakat dapat memperhatikan kebutuhan anak sehingga mereka tidak terjerumus ke dalam tindak kejahatan yang sama. Perlu diperhatikan pentingnya kebutuhan dasar, pengasuhan memberikan kasih sayang kelekatan sehingga anak merasa diterima dan dapat berbaur dengan masyarakat lainnya,” ungkap Tuti.

Direktur Rehabilitasi Sosial Anak, Kanya Eka Santi menyampaikan seluruh pihak harus ikut memastikan anak mendapat pengasuhan orangtua atau keluarganya sendiri dalam situasi pandemi Covid-19 ini. Jika hal lain terjadi, misalnya pada anak terlantar, anak korban bencana, korban kekerasan, maka harus ada pengasuhan alternatif yang diberikan, baik oleh orangtua asuh, wali, orangtua angkat, dan panti asuhan sebagai pilihan terakhir.

“Jika melihat data SIMFONI PPA, kasus kekerasan anak semakin meningkat. Ini berarti masih banyak pihak yang belum paham akan pentingnya pengasuhan. Melalui acara ini kita bisa memahami tugas untuk memberikan pengasuhan dalam keluarga sehingga hak anak dapat terpenuhi, terwujudnya kesejahteraan berkelanjutan, ada status hukum yang jelas dan tidak hanya memenuhi materi tapi juga kasih sayang bagi anak. Ini semua dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak terutama pada masa pandemi ini,” tandas Kanya.(*)

Reporter : Yogi Wibawa
Editor : Ramli
Sumber data dan foto : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Nomor: B- 117 /Set/Rokum/MP.01/06/2020.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *