TARAKAN – Virus corona (Covid-19) saat ini tengah menjadi ancaman bagi dunia, termasuk Indonesia. Virus ini terus mewabah dan menjangkiti banyak orang dengan tingkat penyebaran yang sangat cepat.
Di Kaltara saja, kasus ini sudah menjangkiti 10 orang yang telah terkonfirmasi positif per Ahad, 5 April 2020. Dengan rincian, 3 orang positif di Tarakan, 4 orang di Nunukan, dan 3 orang di Kabupaten Bulungan, dengan jumlah 1 orang meninggal dunia.
Sementara data dari Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Provinsi Kaltara, jumlah PDP sebanyak 14 orang di Kaltara. Dengan rincian 1 PDP di Nunukan, 6 PDP di Malinau, 1 PDP di Bulungan, 4 PDP di Tarakan dan 2 PDP Tana Tidung.
Banyaknya jumlah pasien hingga saat ini dalam isolasi pemerintah. Namun yang menjadi pertanyaan banyak pihak, siapa saja pasien-pasien ini? Karena identitasnya sangat dijaga erat oleh tim medis. Bahkan ada ancaman pidana bagi warga maupun media yang mempublikasikan identitas pasien.
Hal itu pun dikritisi oleh Dr. Syafruddin SH M.Hum, Pakar Hukum Kesehatan di Kaltara. Menurutnya saat ini bukan waktunya menutup-tutupi data pasien. Baik yang berstatus Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), maupun yang sudah positif terkonfirmasi covid-19, baiknya dibuka identitasnya.
Hal ini menurutnya sangat penting guna kewaspadaan dini bagi masyarakat luas. Agar masyarakat lebih berhati-hati dan terhindar dari kontak dengan orang dalam lingkaran corona. Sehingga dapat menurunkan risiko penularan atau memutus mata rantai penularan.
“Yang ada saat ini kan ODP, PDP, sampai yang positif dilarang diberitakan, dilarang disampaikan ke khalayak,” terang pria yang juga Dosen Pasca Sarjana di Universitas Borneo Tarakan (UBT) kepada benuanta.
Bahkan, lanjutnya, media sampai diancam dengan pidana, yang menurutnya itu tidak tepat. Pasalnya yang saat ini terjadi bukan pristiwa biasa, namun sudah menjadi kejadian luar biasa yang tidak hanya menyerang Kaltara atau Indonesia, tapi sudah skala dunia.
Menurutnya, memang ada aturan yang melarang mem-publish atau membocorkan identitas pasien untuk kepentingan privasi. Seperti yang diatur dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran dan UU lainnya.
Menurutnya dalam hukum itu tidak saklek atau absolut. Namun ada pengecualian. Dalam kasus corona yang saat ini sudah menyangkut kepentingan umum atau kepentingan lebih besar, dan kepentingan negara. Sehingga seharusnya sudah bukan waktunya untuk merahasiakan identitas pasien.
“Data pasien memang tidak boleh dibocorkan, tapi ada pengecualian. Jika pertimbangannya untuk kepentingan publik dan negara, maka harus mengenyampingkan kepentingan privat,” tegasnya.
Dengan membuka identitas pasien dalam kasus ini, menurutnya bukan bermaksud untuk mengucilkan. Tapi untuk kepentingan penelitian para petugas, juga untuk kewaspadaan masyarakat.
Seperti halnya kasus pasien positif covid-19 yang meninggal di Kabupaten Bulungan. Menurut Syafruddin, Tim gugus tugas merahasiakan dan tidak memperlakukan sebagai mana seharusnya pasien corona. Sehingga ha itu akan berdampak penyebaran virus tersebut.
Seharusnya, kata Syafruddin, pasien meninggal itu harus diperlakukan sesuai protocol kesehatan. Tidak boleh ada yang mendekat, baik itu masyarakat, bahkan keluarga sendiri, guna menghindar penyebarannya.
“Ini ada yang kontak dengan jenazah. Ini seharusnya tidak terjadi. Semoga ini jadi pelajaran lah buat kita agar kedepannya tidak terjadi lagi hal serupa,” sarannya.(*)
Reporter: M. Yanudin
Benar, demi kesehatan bersama.
Saya setuju, nama dan alamatnya harus disebut dengan jelas, agar masyarakat juga bisa mengawasi dan menjaga diri…
Ini bukan aib, ini adalah penyakit semua bisa tertular…