JAKARTA – Beberapa hari terakhir kanal media sosial di tengah masyarakat Indonesia diramaikan pesan “Kami Bekerja Untuk Kamu, Kamu di Rumah Untuk Semua, Untuk Indonesia”.
Ya, cukup hanya dengan berdiam diri di rumah kita telah mengambil bagian membantu peran tenaga medis menangani pandemi COVID-19 yang sudah menginfeksi 450 jiwa, hingga Sabtu (21/3). Sebanyak 38 orang meninggal dunia dan 20 orang dinyatakan sembuh.
Sebab bukan perkara mudah harus berperang di garda terdepan ‘medan pertempuran’ melawan musuh yang tak kasat oleh mata.
Hingga Jumat (20/3) sudah 25 tenaga medis di Jakarta terkonfirmasi positif COVID-19. Satu orang di antaranya dilaporkan telah meninggal dunia.
Peristiwa itu membuat prihatin Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bila masyarakat terus acuh pada nasihat ‘work from home‘ atau bekerja dari rumah.
“Angka tersebut cukup memprihatinkan jika tidak ada sikap tanggung jawab oleh masyarakat,” ujar Anies kepada wartawan di Balai Kota Jakarta.
Tidak dimungkiri, rasa takut saat ini menghinggapi para dokter, perawat, paramedis, dan seluruh jajaran rumah sakit yang sedang bekerja keras melayani dan merawat pasien terinfeksi COVID-19 di ruang isolasi rumah sakit tempat mereka bekerja.
“Kalau dari saya sih temen-teman semua ada rasa takut, tapi kembali lagi kita kan seorang perawat yang merawat pasien,” ujar Wita Tamala, perawat pasien COVID-19 di ruang isolasi Pinere Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta Timur.
Balutan jubah hazmat (hazardous materials) lengkap dengan sarung tangan, masker, kacamata medis, dan penutup kaki cukup memberi ketenangan bagi perempuan yang sudah tiga tahun bekerja sebagai perawat itu saat berinteraksi dengan pasien.
Hari itu Wita mendapat tugas pukul 11.00 hingga 01.00 WIB untuk merawat pasien perempuan yang berstatus positif COVID-19 usai bepergian ke luar negeri.
“Ke dalam ruangan pasien itu kita juga harus menyapa dan memperkenalkan diri. Sebelum memegang pasien, kita juga harus cuci tangan dulu,” katanya.
Curhat
Biasanya Wita mengawali perawatan dengan menanyakan keluhan pasien hingga terjalin komunikasi intensif.
Bahkan tidak jarang beberapa pasien terlibat curhat tentang kronologi kejadian yang berujung pada penyakit yang dia derita.
Wita menyebut upaya itu sebagai pendekatan psikologis terhadap pasien agar merasa tenang selama menjalani proses perawatan.
“Emang kita suka curhatan berdua sama pasiennya jadi lebih deket gitu sama pasiennya,” katanya.
Obrolan yang dijalin seputar perjalanan pasien saat ke luar negeri dan interaksi mereka dengan warga negara asing.
“Ya tentang dia jalan-jalan ke Eropa, dia ketemu orang-orang itu gimana di sana,” katanya.
Curhatan tersebut dirasa Wita efektif meminimalisasi ketakutan pasien terhadap dampak COVID-19 selama masa penyembuhan di ruang isolasi Pinere.
Sedikitnya ada empat pasien yang saat itu dirawat Wita di ruang isolasi berukuran 3×4 meter persegi dengan jarak dua meter antartempat tidur.
Selain sibuk dengan laporan rutin kondisi pasien kepada dokter, Wita juga berkewajiban menyuplai kebutuhan obat, vitamin hingga kenyamanan tempat tidur pasien.
Bahkan sampai menyuapi asupan makanan hingga ke mulut pasien.
“Yang parsial, yang ‘total care’ itu kita selalu nyupain. Tapi kalau yang parsial dan mandiri itu enggak. Yang ‘total care’ aja,” katanya.
Dukungan keluarga
Taat pada ketentuan standar operasional prosedur penanganan COVID-19 menjadi hal wajib bagi para perawat dalam bekerja, tidak hanya untuk keselamatan pribadi, tapi juga keluarga dan lingkungan mereka.
“Kalau keluarga udah saya jelasin saya ngerawat pasien virus corona. Dari keluarga sih enggak apa-apa, yang penting jaga kesehatan terus makanan yang bergizi, terus minum vitamin, dan banyak minum air putih,” kata Wita.
Tidak jarang pula perawat terserang influenza selama merawat pasien. Bila keluhan dirasa ringan, mereka tetap menjalani pelayanan terhadap pasien.
“Kalau biasanya sih saya misalnya flu ya, flunya itu ringan, ya saya tetap merawat pasien, cuma saya akan lebih memakai masker terlebih dahulu biar gak menular ke temen atau ke pasien,” katanya.
Berbeda dengan Wita, Dokter spesialis paru di Rumah Sakit Graha Kedoya, Jakarta Barat, Handoko Gunawan (80) dikabarkan mulai pulih setelah dilanda kelelahan selama merawat pasien COVID-19.
Di usianya yang tak lagi muda, dokter Handoko bekerja merawat pasien hingga jam 03.00 pagi, meski sebelumnya telah diperingatkan oleh keluarga terkait bahaya COVID-19.
Menjadi pejuang kemanusiaan di tengah merebaknya virus corona di Indonesia, Handoko sempat dirawat di ICU lantaran mengalami sesak napas.
Kabar dr. Handoko yang dirawat di ICU RS Persahabatan, Jakarta Timur, membuat pihak keluarga turut angkat bicara.
Dalam surat terbuka yang dibuat keluarga, setidaknya ada empat pernyataan yang disampaikan kepada publik.
“Dr Handoko Gunawan saat ini sudah dalam penanganan RS dan staf medis yang kompeten dan dalam kondisi sadar serta dapat berkomunikasi dengan baik (tentunya komunikasi dibatasi),” katanya.
Dalam surat itu juga disampaikan bahwa keluarga besar Handoko Gunawan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perhatian, simpati dan doa-doa yang dipanjatkan untuk Handoko Gunawan, baik dari teman-teman, kerabat, netizen dan seluruh lapisan masyarakat yang memberikan semangat dan dukungan.
“Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa membalas budi baik kalian semuanya,” demikian penutup surat terbuka yang dibuat keluarga Handoko.
Saat ini dukungan, doa serta apresiasi terhadap para pejuang COVID-19 berdatangan dari berbagai lapisan masyarakat di Indonesia.
Tidak terkecuali pernyataan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo yang patut kita simak dalam postingan di akun resmi @jokowi pada Jumat (20/3).
“Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para dokter, perawat, paramedis dan seluruh jajaran rumah sakit, yang sedang bekerja keras penuh dedikasi dalam melayani dan merawat pasien yang terinfeksi COVID-19,” ujarnya.(ant)
Pemerintah harus tidak saja mengapresiasi kinerja dokter dan perawat pasien corona tapi harus di beri tunjangan 1 bulan gaji apabila pandemi ini berakhir…