“Akibatnya dia main gadget seharian tanpa sepengetahuan dan monitoring dari orang tua, yang menyebabkan pola tidur anak terbalik yg seharusnya malam hari menjadi pagi hari hingga siang hari, kurangnya interaksi sosial baik dengan anggota keluarga maupun lingkungan sekitar, kurangnya stimulasi orangtua juga anggota keluarga lainnya pada anak, anak lebih banyak berkegiatan didalam rumah sehingga jarang sekali berkegiatan diluar rumah, karena kesibukan orangtua. Jadi, singkatnya karena beberapa faktor itu anak mengalami keterlambatan bicara dan bahasa serta keterampilan interaksi sosialnya kurang sesuai dengan usia anak” ujar alumni Magister Psikolog Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya tersebut.
Mirisnya, diusia 4-5 tahun anak lancar berbicara, pengaruh gadget anak kurang berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya. Menyikapi persoalan anak candu gadget ini, pendampingan orang tua atau keluarga sangat penting karena dikhawatirkan anak keasikan dengan gadget sehingga kurang berinteraksi.
“Pendampingan orang tua sangat penting, peran orang tua itu signifikan, apalagi anak diusia pra sekolah, jangan dibiarkan khususnya anak generasi Alpha bermainnya tanpa dimonitoring,” urainya.
Lanjut perempuan kelahiran 1994 ini, untuk mengatasi anak generasi Alpha terpapar gadget dapat memberikan anak permainan-permainan yang konstruktif atau membangun seperti lego juga puzzle, juga permainan fisik atau yanh melibatkan anak banyak bergerak. Umumnya anak kecanduan gadget kurang dalam hal motorik, seperti menulis, memegang alat tulis, mainnya gadget hanya melibatkan satu jari sehingga jari lainnya menjadi kaku. Hal itu bisa menghambat perkembangannya.
“Orang tua diharapkan memberikan permainan yang membangun, seperti Lego serta puzzle itu membutuhkan kemampuan berpikir, permainan fisik atau olahraga yang banyak menuntut anak untuk bergerak, serta menciptakan lingkungan bermain yang bebas dari media elektronik dan sebisa mungkin untuk mengurangi penggunaan gadget disekitar anak. Dampak negatif yang disebabkan oleh penggunaan screen time yang berlebihan yaitu terhambatnya interaksinya sosial, kemampuan motorik yang terhambat, menghambat kelekatan antara orangtua dan anak, serta bisa menimbulkan masalah dalam atensi atau perhatian. Meskipun internet menawarkan dan menyediakan banyak hal untuk diajarkan serta dipelajari oleh anak namun orang tua tetap harus mendampingi anak dalam penggunaannya ,” ulasnya.
Sementara itu, bagi generasi Z (lahir antara 1995-2010) kecanduan gadget bukan hal baru lagi. Orang tua dituntut intens mengajak anak berinteraksi dan berkomunikasi. Terkadang seorang anak lebih nyaman berkomunikasi dengan teman di media sosial dibandingkan orang di sekitarnya.
Dikatakan Psikolog Diana, generasi Z bisa keasikan dengan gadgetnya karena pengaruh lingkungan. Bahkan, dalam keseharian temannya untuk berinteraksi sangat sedikit dibandingkan teman di medsos.
“Itu karena lingkungan atau teman-teman disekelilingnya kurang memberikan respon sama dia, medsos hanya sebagai wadah mereka untuk berkomunikasi dan mengekspresikan dirinya. Lebih nyaman ke temannya di internet, media sosial itu mereka merasa aman karena tidak ada yang kenal mereka, temannya bukan orang di sekitarnya, kebanyakan orang jauh, mengeluarkan unek-unek disitu,” jelas perempuan dengan hobi membaca novel dan komik ini.
“Hal ini ditambah dengan lingkungan disekitarnya misalnya teman-teman disekelilingnya menggunakan medsos sehingga mau tidak mau, anak juga menggunakan medsos. Sewaktu penelitian dulu pada zamannya blackberry messenger menunjukkan bahwa mereka lebih nyaman untuk berinterkasi di medsos karena tidak perlu face to face atau tatap muka, adanya faktor kesepian juga harga diri, ” sambungnya.