Generasi Candu Internet

Sandang, pangan, dan papan merupakan kebutuhan primer manusia. Seiring meningkatnya kebutuhan primer itu, maka pesat pula peningkatan teknologi saat ini. Salah satunya internet yang tak bisa terpisahkan di kehidupan manusia masa kini. Terutama generasi Z dan Alfa yang lahir di zaman serba teknologi.

Generasi Z dan Alfa merupakan dua generasi yang paling terdampak pada perkembangan digital masa kini. Terutama terhadap internet yang tak bisa dilepaskan dari aktivitas sehari-hari. Generasi Z merupakan generasi kelahiran 1995 hingga 2010. Generasi Z saat ini bakal menggantikan posisi generasi Y atau akrab disebut Generasi Post Millenial yang lahir periode 1981—1994.

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
1980 votes

Generasi Z saat ini rata-rata tengah duduk di bangku kuliah tahun pertama. Sebagian dari mereka pula ada yang masih menempuh pendidikan di bangku SMA. Generasi Z ini cikal bakal yang akan menggantikan posisi generasi Y mengendalikan dunia. Sebab, perkembangan teknologi saat ini tengah dikendalikan sebagian besar generasi Y mulai beralih ke generasi Z.

Saat ini, usia generasi Y paling tua berusia 36 atau 37 tahun, sementara yang termuda 23 tahun. Di usia yang produktif ini, jumlah generasi Y mencapai 1,8 miliar di seluruh dunia. Ini jugalah yang dimaksud dengan generasi Y tengah mengendalikan dunia dalam hal sebagai mahluk ekonomi. Dengan jumlah generasi Y itu, perputaran ekonomi dunia sedang berada di tangan generasi Y.

Bagi generasi Y, yang saat ini paling mudah diingat dengan apa yang telah diraihnya yakni Mark Zuckerberg. Sang penemu Facebook yang masih berusia 32 tahun. Tentu di usia itu Mark Zuckerberg merupakan golongan dari generasi Y. Melalui Facebooknya, media sosial menemukan titik dimana seluruh umat manusia dapat mengakses media sosial dengan mudah. Dari situ pula, muncul beragam media sosial lainnya.

Perkembangan media sosial itu, seiring pesatnya perkembangan internet masa kini. Internet yang bisa diakses siapapun di dunia ini. Internet seakan menjadi kebutuhan pokok yang harus dimiliki setiap mahluk sosial di dunia. Tanpa internet, berbagai media sosial tak aka nada artinya. Bahkan, media sosial sangat bergantung dengan perkembangan internet.

Perkembangan internet yang begitu pesat ini jugalah yang menjadikan seluruh generasi yang ada candu terhadap keberadaan internet. Dari candu itu, generasi yang ada tak bisa lepas dari media sosial yang digunakan. Bahkan, internet merubah cara berpikir dan pekerjaan dunia saat ini. Internet yang begitu mudah diakses, pun demikian dapat memudahkan pekerjaan beberapa perusahaan hingga gaya hidup.

Seiring perkembangan zaman, kehidupan sosial dan gaya kerja tak lagi sekaku beberapa decade lalu. Orang-orang tak lagi mengenal jam kerja dimulai pukul pukul 8 pagi hingga 5 sore. Pekerjaan masa kini sebagian besar dapat dikerjakan melalui gadget. Hanya dengan terhubung internet, suatu daerah sudah bisa bertatap muka dengan pimpinan yang berada di perkotaan. Begitu pula dengan selera, kini orang-orang tak perlu lagi mengeluarkan tenaga untuk pergi berbelanja. Melalui gadget dan internet, sudah ada layanan yang menyediakan keinginan belanja atau memuaskan selera.

Lambat laun, internet yang begitu mendominasi 90 persen kalangan di muka bumi ini menjadi kebiasaan manusia. Sehingga untuk lepas dari internet dalam sehari saja sangat sulit dilakukan. Aktivitas keseharian tak lengkap rasanya bila tanpa internet. Bahkan, gadget dan internet merupakan satu kesatuan yang tak bisa terpisahkan. Bagi Generasi X yang lahir pada 1965-1976 dan Generasi Y, pesatnya teknologi saat ini merupakan lompatan yang cukup luar biasa bagi kedua generasi tersebut.

Baca Juga :  Alat Tangkap Mini Trawl, DKP Kaltara: Sesuaikan Zona Penangkapan

Namun begitu, pesatnya perkembangan teknologi masa kini pun tak selalunya diuntungkan bagi Generasi Z dan Alfa. Perkembangan teknologi itu tentunya memiliki dampak buruk lainnya bila tak dimanfaatkan dengan baik. Dampak buruk akan internet inilah yang kerap kali dikhawatirkan sebagian orang. Bahkan, bagi Generasi Z dan Alfa yang sudah akrab dengan gadget dan internet sejak dini bisa menjadi candu yang bakal sulit dihilangkan.

Tak jarang dampak buruk internet dan gadget berimbas fatal terhadap Generasi Z dan Alfa. Meski terkesan sepelh, candu internet tersebut tak memiliki penawar seperti penyakit-penyakit lainnya. Untuk menghilangkan candu internet ini, hanya bisa dihilangkan dengan kebiasaan untuk tidak bergantung dengan hal tersebut. Salah satunya yakni candu akan game di gadget yang tengah berkembang pesat. Tak sedikit penikmat game mobile menjadi candu terhadap permainan yang disajikan berbagai perusahaan digital.

Meski game mobile kebanyakan hanya diperuntukkan menghabiskan waktu suntuk, namun seiring berjalannya waktu game mobile menjadi salah satu keharusan yang wajib dimainkan bagi sebagian Generasi Z dan Alfa. Bagaimana tidak, beberapa game mobile masa kini sudah masuk dalam ajang olahraga dunia untuk dipertandingkan. Sehingga, dari dasar itu Generasi Z dan Alfa makin tertarik memainkannya. Bukan lagi sekedar mengisi waktu, bermain game mobile kini menjelma menjadi hobi bagi kedua generasi itu.

Tentu dengan bermain game mobile berlebihan memiliki risiko yang kerap kali diabaikan orangtua. Mulai dari gangguan saraf hingga cara bersosial yang semakin kurang terlihat. Hal ini banyak didapati di kalangan tertentu, misalnya anak-anak Generasi Z dan Alfa lebih sering memainkan gadgetnya saat berdiskusi ringan dengan keluarga di rumah. Bahkan, beberapa di antaranya lebih memilih jarang berbicara di rumah dan menghabiskan waktu membalas pesan singakt di gadget.

Namun begitu, beberapa peneliti di dunia meyakini Generasi Z dan Alfa merupakan generasi yang memiliki kecerdasan yang berbeda dari generasi sebelumnya. Hal itu tentunya didukung dengan perkembangan zaman dan pesatnya teknologi masa kini. Hal itu tak bisa dihindarkan lagi, bahkan menjadi suatu kewajiban bagi setiap generasi Z dan Alfa untuk memiliki gadget dan akrab dengan internet.

Hal itu setelah perkembangan internet dan gadget disertakan dalam pelajaran sehari-hari di sekolah dan kehidupan sehari-hari kedua generasi itu. Generasi Z yang tengah menempuh pendidikan, mendapat kelonggaran mengakses internet di sekolahnya. Begitu juga dengan generasi Alfa yang mendapatkan kebiasaan dari orangtua mereka untuk menggunakan gadget dan internet di kehidupannya. Lantaran hal itu, kedua generasi tersebut tak lagi cocok mendapatkan edukasi yang ketinggalan zaman seperti yang pernah didapatkan Generasi Y dan Z.

Menegenai data, Benuanta mengutip beberapa data soal pengguna internet di Indonesia beberapa tahun terkahir. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), kelompok usia produktif merupakan pengguna internet terbanyak di Indonesia. Menurut survei APJII, hampir separuh dari total pengguna internet di Indonesia merupakan masyarakat dalam kelompok usia 19-34 tahun (49,52%).

Sementara pengguna terbanyak kedua merupakan kelompok usia 35-54 tahun (29,55%), kelompok usia 13-18 tahun (16,68%), dan pengguna dengan usia di atas 54 tahun (4,24%). Internet saat ini tidak hanya digunakan untuk bekerja dan keperluan pendidikan, tetapi juga semakin dekat dengan kebutuhan sehari-hari. Hal tersebut tecermin dari jumlah pengguna yang kian bertambah dan angka penterasi yang kian tinggi. Jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2017 mencapai 143,26 juta jiwa dengan penetrasi mencapai 54,6% dari populasi.

Selanjutnya, The Nielsen Company pada 2017 mencatat remaja usia di bawah 19 tahun atau sering disebut Generasi Z, serta usia muda 20-39 tahun atau Generasi Y menjadi generasi yang cenderung beralih memakai platform online untuk aktivitas mereka. Riset dari Nielsen menunjukkan bahwa sekitar 38 persen Generasi Y dan 40 persen Generasi Z mengaku lebih memilih sesuatu yang berbasis online dalam kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini berbeda dengan generasi yang lebih tua. Masyarakat dengan usia lebih dari 40 tahun ternyata lebih sedikit yang beralih menggunakan sistem online karena mereka masih merasa nyaman layanan konvensional. Pesatnya perkembangan teknologi memang menjadikan internet sebagai penunjang bagi berbagai kebutuhan. Penetrasi internet ke pengguna usia muda menjadikan para remaja lebih memilih metode online dibandingkan konvensional.

Baca Juga :  Usulan CASN Pemprov Kaltara Disetujui 

Adapun data kecanduan internet dari Hootsuite,We Are Social,yang mana Indonesia menduduki peringkat kelima di dunia dalam hal lama penggunaan internet. Berdasarkan Global Digital Report 2019 dari HootSuite dan We Are Social, rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan waktu untuk berselancar di dunia maya selama 516 menit atau 8 jam 36 menit per hari.

Selain Indonesia, negara tetangga yang menduduki jajaran 10 besar adalah Filipina, Thailand, dan Malaysia. Filipina didaulat sebagai negara dengan masyarakatnya yang paling lama menggunakan internet, yaitu selama 602 menit atau 10 jam 2 menit.Sementara itu, Brasil berada di posisi kedua dengan durasi penggunaan internet selama 569 menit atau 9 jam 29 menit per hari. Thailand di posisi ketiga dengan durasi penggunaan internet 551 menit atau 9 jam 11 menit per hari.

Terakhir, Hootsuite,We Are Social juga mencatat Youtube menjadi platform yang paling sering digunakan pengguna media sosial di Indonesia berusia 16 hingga 64 tahun. Persentase pengguna yang mengakses Youtube mencapai 88%. Media sosial yang paling sering diakses selanjutnya adalah WhatsApp sebesar 84%, Facebook sebesar 82%, dan Instagram 79%.Sebagai informasi, rata-rata waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia untuk mengakses sosial media selama 3 jam 26 menit. Total pengguna aktif sosial media sebanyak 160 juta atau 59% dari total penduduk Indonesia. 99% pengguna media sosial berselancar melalui ponsel.

Beberapa data di atas membuktikan Generasi Z dan Alfa tak akan terlepas dari pengguna aktif internet dan media sosial ke depannya. Data itu juga membuktikan bahwa setiap generasi yang akan datang akan menjadi pecandu internet, serta menjadikan internet sebagai salah satu kebutuhan yang harus dimiliki dalam kehidupan. Hal ini sebenarnya sudah terjadi dan menjadi kesadaran tersendiri bagi anak Generasi Z dan Alfa maupun orangtua.

Seperti yang dialami Cici Astuty, salah satu anak Generasi Z yang kini tengah menempuh pendidikan di bangku kuliah di salah satu universitas di Kaltara. Bagi dia, internet dan media sosial sudah menjadi kebiasaannya sejak duduk di bangku SMA. Bahkan, tugas-tugas sekolah dan kuliah kini bisa dikerjakan dan diselesaikan melalui internet. Belum lagi dengan kehidupan sehari-hari yang harus berkomunikasi dengan keluarga maupun kerabat, melalui media sosial yang digunakan banyak kalangan.

Ia pun menyadari dengan adanya internet segala sesuatu bisa didapatkan dengan mudah. Bahkan, untuk tugas kuliah saja ia bisa mencari banyak referensi di internet. Meski diwajibkan menggunakan buku, namun bagi dia melalui internet bisa lebih mudah memahami suatu tugas kuliah yang dikerjakan.

“Kalau mau dibilang terbiasa memang terbiasa (menggunakan gadget). Apalagi sekarang internet mudah diakses di mana-mana. Bagi aku internet itu juga penting, apalagi anak muda seumuran saya tanpa internet itu susah juga. Kalau nggak ada internet itu bingung apa yang mau dikerjakan,” ungkapnya saat ditemui Benianta.

Baca Juga :  Jelang Pilkada, Kabinda Kaltara Beberkan Potensi Besar Hoaks

Bahkan, tak jarang ditemui anak Generasi Z bisa menghabiskan banyak waktu berhadapan dengan gadget sambil berselancar di dunia maya. Dampkan ini jugalah yang merubah kebanyakan pola berpikir anak Generasi Z yang serba mudah. Cara berpikir yang serba bisa anak Generas Z ini pula akan diadopsi Generasi Alfa, karena rata-rata anak yang lahir di Generasi Alfa adalah anak dari Generasi Z.

Generasi Alfa, yang akrab disebut anak yang lahir di abad ke-21 ini pun demikian. Seiring pertumbuhan anak Generasi Alfa yang lahir pada 2010 ke atas, teknologi pun semakin maju. Posisi internet di sini masih tak bisa terpisahkan untuk Generasi Alfa. Sementara dunia digital terus berkembang mengikuti zaman. Mengenai hal itu, orangtua yang memiliki anak yang lahir di Generasi Alfa mau tak mau harus menerima anaknya bakal menjadi pecandu internet.

Seperti yang diutarakan Hany, salah seorang ibu rumah tangga yang memiliki anak usia 11 bulan ini mengaku cukup khawatir dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat. Pasalnya, dengan perkembangan teknologi itu anak menjadi cepat memahami apa yang dikerjakan para orangtua terhadap ponsel pintar. Salah satunya ketika anak menangis, lalu diberikan ponsel untuk menonton konten kartun di dalamnya, anak tersebut bisa diam lalu terhibur.

Ia pun menyadari hal tersebut merupakan kebiasaan orangtua yang diterapkan kepada anaknya. Kebiasaan ini terus-menerus diberikan sehingga anak menjadi ketergantungan terhadap gadget yang diberikan. Mengenai hal itu, ibu satu anak itu mengakui prilaku kebiasaan yang diberikan kepada anaknya.

“Kadang anak saya susah mau makan, kalau dikasih nonton kartun di Youtube dia (anak) diam kelihatannya terhibur begitu. Setiap kali mau makan pasti begitu (nonton Youtube), lama-lama dia berharap dikasih nonton Youtube dulu baru mau makan,” akunya.

Lantaran internet sangat mudah diakses di mana-mana, hal itu pun tak terlepas dari konten-konten negative di dalamnya. Hal ini tentu sangat erat kaitannya dengan pengwasan, baik pemerintah maupun orangtua. Jika tidak ada pengawasan terhadap anak untuk mengakses konten di internet, maka besar kemungkinan beberapa konten negatif bisa saja diakses anak terutama anak Generasi Z.

Mengenai hal itu, dikutip dari halaman Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Kemenkominfo masih mewaspadai pornografi yang beredar di dunia maya. Paruh kedua 2018 hingga akhir semester pertama 2019, pornografi merajai konten negatif Indonesia.

Sekretaris Direktorat Jendral Aplikasi Informatika Sadjan M.Si mengatakan, antara Agustus 2018 hingga April 2019, Mesin Pengais Konten Negatif (AIS)) menemukan sebanyak 898.108 konten pornografi. Ini adalah yang tertinggi dari keseluruhan jenis konten negatif.

“Untuk antisipasi dampak meluas, Kementerian Kominfo RI telah mengaktifkan mesin pelacak hoaks dan konten negatif di internet yang dinamakan AIS mesin pengais konten negatif  di ruang Cyber Drone 9 gedung Kominfo,” katanya.

Dengan AIS ini pula, sejak Agustus 2018 lalu terdeteksi terjadi 162 hoaks terkait pemilu, 3.021 fraud atau kasus penipuan online, 41 hingga 50 perundungan siber, 10.451 terkait radikalisme dan 71.265 konten tentang perjudian.

Perkembangan zaman dan teknologi saat ini, diharapkan penggunaan internet maupun media sosial dapat dibatasi untuk anak Generasi Z dan Alfa. Sebab, kedua generasi tersebut merupakan generasi yang bakal menentukan arah perekonomian dan kemajuan suatu Negara. Jika penggunaan internet dimaksudkan dalam hal yang postif maka, internet dapat bermanfaat bagi kedua generasi. Namun sebaliknya, internetpun bisa menjadi ancaman tersendiri bila tak dimanfaatkan dengan baik. (kik)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *