TKI Ilegal Masih Jadi Masalah Rumit

NUNUKAN – Salah satu persoalan yang terus ditangani pemerintah adalah masalah sosial Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dan sedang bekerja di Malaysia. Daerah yang kerap berlangganan masalah ini adalah Kabupaten Nunukan. Dari data Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja (BP3TKI) Nunukan, sebanyak 2.405 tenaga kerja yang dideportasi otoritas Malaysia sejak Januari hingga awal Agustus 2019.

Data tersebut belum termasuk data TKI ilegal yang kerap meresahkan dan bikin pusing aparat keamanan dan pemerintah setempat. Saking sulitnya mendata, BP3TKI bahkan mengaku tidak dapat menentukan secara pasti jumlah TKI ilegal yang masuk melalui Nunukan. Namun melalui data sampling, diperkirakan dalam satu bulan terdapat 4.000 TKI ilegal yang masuk melalui jalur tidak resmi.

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
1946 votes

“Kita hanya melihat prosentase kapal yang masuk. Kita hanya membanding-bandingkan saja dalam sepekan ada 4 kapal masuk, berarti kalau per kapal ada 500 orang, berarti ada 2.000 penumpang turun di Nunukan,” ungkap Kasi Perlindungan dan Pemberdayaan BP3TKI Nunukan, Arbain.

Baca Juga :  Pelabuhan Sei Jepun Dipadati Penumpang Berwisata ke Sebatik

Jika dibagi dua, TKI yang turun di Nunukan ini diperkirakan 1.000 orang menyeberang ke Malaysia dengan tidak dilengkapi syarat administrasi sehingga dapat dikatakan melalui jalur tidak resmi atau ilegal. “Ini tidak mungkin menetap di Nunukan. Mau kemana mereka? Ini menjadi pertanyaan. Kita fifty-fifty sajalah, dari 2.000 penumpang ada 1000 penumpang turun di Nunukan bekerja di Nunukan, penduduk Nunukan, yang 1000 pasti akan menyeberang ke Malaysia itulah yang ilegal. Kalau kita lihat dalam sebulan itu ada 4.000 yang ilegal,” jelas Arbain.

Masalah sampai disitu? Ternyata tidak. TKI ilegal diperkirakan masih banyak bekerja di Malaysia. Baru-baru ini saja, pihak BP3TKI Nunukan menerima 266 orang yang dideportasi dari Kota Kinabalu, 157 orang dideportasi dari Tawau. “Apalagi ada program kerja baru di Malaysia, bisa membuat paspor di Malaysia, ini akan mengundang TKI ilegal berbondong-bondong membuat dokumen di Malaysia, ini permasalahan,” sesalnya.

Baca Juga :  Antisipasi Kecelakaan Berlayar, Dishub Nunukan Batasi Jam Penyebrangan

Masalah yang dia maksudkan bagi TKI ilegal yang tidak memahami prosedur pembuatan dokumen resmi di Malaysia. Sehingga, mereka dapat dikatakan TKI ilegal karena tidak lengkap dokumennya. Tahun ini, BP3TKI Nunukan membandingkan angka penempatan secara resmi sekitar 700 jiwa. Ini bagi TKI yang punya majikan dan punya izin tinggal di Malaysia. Jika melihat TKI ilegal yang dideportasi tahun ini, berarti lebih banyak TKI yang masuk secara resmi dibanding TKI ilegal.

Melihat masalah-masalah ini, Arbain menekankan agar kedepan pihaknya dapat meningkatkan penempatan TKI dan aktif melakukan sosialisasi ke calon-calon TKI, khususnya calon TKI yang akan membuat dokumen di dalam negeri. “Boleh di daerah asal atau di Nunukan di LTSA (Layanan Terpadu Satu Atap), supaya mereka aman, terlindungi bekerja di Malaysia,” terang Arbain.

Selain itu, pihaknya juga akan selalu menjalin komunikasi lintas sektor agar tidak ada lagi masalah-masalah yang menyebabkan deportasi. Pekan lalu, kata Arbain, mereka telah membahas dalam rapat bersama Polres, Lanal, Babinsa di Nunukan agar kedepan mereka dapat mencegah TKI masuk ke Malaysia secara tidak prosedural.

Baca Juga :  Libur Lebaran, SAE Lanuka Jadi Tempat Favorit Warga Nunukan 

“Kalau memang ada TKI masuk secara tidak resmi kita cegah dan suruh buat dokumen,” katanya.

Meski demikian, Arbain menilai, tren deportasi TKI ilegal kali ini cenderung menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun 2016 sebanyak mereka mendata sebanyak 4.051 orang dideportasi. Kemudian tahun 2017 sebanyak 3.813 dideportasi dan tahun lalu sebanyak 2.798 orang juga dideportasi.

“Kita tidak tahu diakhir nanti, apakah meningkat atau menurun. Itu upaya kami, kalau keluar negeri urus dokumen,” imbuhnya.

Apakah persoalan TKI ilegal ini akan teratasi jika ibu kota pindah ke Kaltim? Arbain menilai, pengaruhnya juga signifikan bagi pelayanan. Pasalnya, alur koordinasi makin dekat dan terpantau.

“Kalau kantong TKI, ini kan tetap di daerahnya masing-masing. Yang signifikan antara NTT (Nusa Tenggara Timur), Sulsel (Sulawesi Selatan), itu ranking tertinggi,” tutupnya. (day/raz)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *